PEONY

Lilly Amundsen
Chapter #1

PEONY : M E

Hari ini, udara pagi masuk ke dalam ruanganku yang putih dan dipenuhi dengan warna-warna hangat, dari mulai perabotan, furniture dan dekorasi ruangannya. Ruangan sepetak ini hanya berisi sebuah tempat tidur dengan seprai dan selimut berwarna putih. Sebuah sova beludru berwarna cream bersanding dengan meja bundar dari kain beludru berwarna kecokelatan dan sebuah rak buku berwarna cream mempermanis tampilannya. Selain itu, hanya ada satu kamar mandi di sana. Sebuah lemari berwarna putih menyatu dengan meja belajar, lalu tidak jauh dari sana, ada dapur mini dengan tempat cuci piring dan mesin cuci baju. Dan sebuah rak sepatu berwarna kecokelatan di sudut dekat pintu yang juga berwarna putih. Di sebelah tempat tidur, terdapat jendela kaca penuh dari atas sampai lantai dengan gordyn berwarna putih transparan. Lalu keluar dari sana, ada balkon dengan pemandangan super manis, khas perkotaan. Bangunan yang menjulang dan pepohonan rindang di bawah sana. Aku pernah berencana merubah semua cat ruangan ini menjadi warna merah muda saat menjadi penggemar Blackpink, tapi itu tak pernah terjadi. Sepertinya sudah terlalu nyaman dengan warna-warna ini, dan aku sudah terlalu tua untuk obsesi remajaku. Ya, 26 tidak terlalu tua sebenarnya.

Teh hangat yang sebelumnya kuseduh menemani pagi yang sedikit dingin dan berkabut. Udara di luar masih sekitar 14 derajat, saat keluar mungkin akan menjadi 15 derajat. Aku menikmati teh hangat sembari mengerjakan draft novel yang sudah diburu waktu tenggat. Sekitar 1 bulan lagi dengan 3 BAB ending yang harus segera dirampungkan. Itu cukup menguras pikiran, bahkan sampai tak mau menulis lagi. Pikiranku tidak berfungsi. Tapi ketika semuanya terlalui, aku akan merindukan saat-saat ini, dan melakukannya lagi, sampai terasa tidak mau melakukannya lagi. Tapi kurasa, karena aku menyukainya, maka aku tidak keberatan melakukannya walau ini terasa membebani.

Hari ini aku akan bertemu dengan tim editorial penerbit yang setia menerbitkan tulisanku -yang walau tidak cukup bagus, tapi setidaknya layak dibaca. Sekitar pukul 09.00 pagi di cafe langganan kami. Hal yang paling kusuka dari pekerjaanku adalah aku tidak perlu khawatir merasa bosan, sebab aku bisa bekerja di mana pun dan kapan pun. 

Kurasa aku aku harus segera mandi.

*** 

Aku sampai di cafe Edelwise lebih cepat 15 menit dari jadwal temu, itu mungkin memperlihatkan betapa penganggurannya aku sampai-sampai bisa datang lebih awal. 15 menit, bukankah itu terlalu awal dibandingkan waktu Indonesia yang selalu molor. Paling sebentar, ya, 30 menit dari waktu yang dijanjikan. Tapi aku tidak ingin menjadi bagian dari mereka, itu mengapa aku selalu berusaha untuk datang tepat waktu, walau sedikit buru-buru, walau sedikit berlebihan. Itu sekitar 4 Tahun lalu saat aku dipermalukan karena terlambat dalam kepanitian di kampus, itu sangat memalukan. Dan sejak itu, aku berjanji untuk selalu on-time, setidaknya pada diriku sendiri. Sehingga setiap kali aku tepat waktu, aku selalu bangga pada diriku dan menyesal jika terlambat. Ya, begitulah, sesuatu yang sudah sering dilakukan, akan terasa kurang bahkan sampai menyesal jika tidak melakukannya, walau sekali saja -semacam otomatis.

Dia akhirnya datang setelah aku menghabiskan secangkir latte hangat dan sebuah donat. Tenang saja, setiap bertemu dengan editorku, mereka selalu menraktirku, jadi aku tidak segan-segan untuk makan banyak. Seperti hari ini. Aku akan memesan beberapa beef dan makanan enak lainnya. Ya, memang sedikit kurang ajar, tapi editorku ini sangat kaya, jadi baginya, membelikan makan siang seorang penulis yang bahkan tidak terkenal dan hidup sendirian di kota besar ini bukanlah masalah besar. Dia bahkan akan memintaku tambah setelah menyelesaikan ronde pertama. Betapa beruntungnya aku. Dan terlebih, dia seorang perempuan beranak 2, jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan sikap baiknya padaku. 

“Na ... gue udah bahas ini sama atasan gue, Mba Meli, dia bilang ini ceritanya seger sih, tapi lu terlalu berbelit di BAB 10 yang bahas konflik utama,” ujarnya dengan menunjukkan file BAB 10 di macbook miliknya. Sedang aku fokus menyimak.

“Nih, lu liat, banyak banget kan merahnya ....” 

Lihat selengkapnya