Hari ini aku bertemu lagi dengan Mbak Feli di cafe yang sama, tapi kali ini dia tidak datang sendiri. Dia datang dengan seseorang, berpakaian serba hitam, mengenakkan topi dan juga masker. Mbak Feli dan laki-laki itu duduk di hadapanku.
“Na, kenalin, ini Ali, dia yang bakal meranin Bas di cerita Bagaimana Jika.” Ujar Mbak Feli membuka percakapan kami.
Aku tidak terkejut, lebih santai sebab aku percaya pada pilihan Mbak Feli dan Sutradara Favoritku. Aku menganggukkan kepalaku, menyapanya. Dia terlihat cukup dingin. Aku jadi bingung harus bagaimana memulai hubungan dengannya.
Sepanjang diskusi, aku lebih banyak diam dan menyimak. Selain dari Mbak Feli yang memang pemegang kendali diskusi ini, juga karena Ali selalu memotong pembicaraanku walau jelas-jelas aku sedang menjelaskan padanya. Maksudku, aku sebagai penulisnya, kurasa aku lebih tahu dibanding dia. Tapi sepertinya dia punya pemikiran lain, dan anehnya, selalu saja berlawanan denganku. Setiap kali dia menyelaku, kudapati Mbak Feli justru menatapnya dengan berbinar dan menyikapinya dengan santai. Jadi, akan terlihat aneh sekali jika aku mengatakan keberatanku saat itu. Dan tidak butuh waktu lama, kesan pertamaku pada Ali pun berubah tidak menyenangkan.
Mbak Feli mengakhiri diskusi hari ini dengan mengatakan bahwa ia akan berbicara pada Sutradara, Mas Dimas perihal jadwal pembacaan naskah. Dan yang lebih mengejutkan lagi,
“Hari ini gue mau jalan bareng Elena, Mbak.” Ujar Ali. Ekspresinya datar, seperti ia melakukannya karena dipaksa seseorang. Aku bingung sekali harus bagaimana.
“Loh, kenapa?” Tanya Mbak Feli.
“Pengen kenal aja lebih jauh sama Elena ... dan Bas yang digambarkan begitu sempurna.” Ujarnya dengan senyuman aneh kali ini.
Aku masih memandanginya. Aku bisa menolaknya, dan aku harus.
“Mbak kayaknya aku gak bisa deh.”
“Bilang ke aku dong, kan aku yang minta.”
Aku?
Aku menatapnya, dan dia juga menatapku dengan senyuman anehnya.
***
Aku berjalan di sepanjang jalan, tanpa arah dan tujuan. Kebingungan dengan Ali yang mengikutiku di belakang, sibuk memotret setiap sudut kota. Aku mempercepat langkahku setiap kali dia terlalu fokus pada objek dan kameranya, tapi menyebalkannya, dia selalu lebih cepat dari dugaanku, bahkan lebih cepat dari pikiranku. Saat aku berpikir dia tertinggal jauh di belakang, maka saat itulah aku salah, dia sudah mengejarku dengan cepat. Sampai hampir menabrakku setiap kali aku berusaha mengeceknya.
“Uh! Sorry ...” Ujarnya dengan terkejut.