PEONY

Lilly Amundsen
Chapter #3

PEONY : I HEARD

Aku duduk di dekat jendela pagi itu, melingkarkan kedua telapak tanganku pada secangkir teh hangat yang sebelumnya kubuat. Udara pagi di sini terasa dingin. Sama dinginnya dengan pikiranku yang mengarah pada seseorang yang kutemui beberapa hari lalu. Kurasa, aku terlalu terkejut. Aku tidak pernah menduganya, bahkan untuk berkhayal pun tidak pernah berani. Tapi dia justru hadir sendiri. Aku belum siap untuk pertemuan itu. Mungkin takkan pernah siap.

Tiba-tiba bel pintu apartemenku berbunyi. Sontak aku menoleh. Bertanya-tanya, siapa dan apa gerangan, sepagi ini. Perlahan kubuka pintu, melihat kanan dan kiri, lalu menemukan sebuah paket bunga, Daisy, Chrysanthemum kuning, dan satu lagi, bunga peony. Tatapanku mengarah pada koridor yang baru saja dilewati seseorang.

Aku membawa ketiga bunga itu masuk. Menyimpannya di meja dan mengambil tiga vas bunga. Aku menyimpannya pada vas masing-masing dan meletakkannya di tiga tempat berbeda. Daisy, kuletakkan di atas lemari buku, Chrysanthemum kuning di dekat meja tidur, dan bunga peony berwarna peach itu kuletakkan di meja tamu. Kini, ruanganku yang sederhana ini tampak begitu manis dengan ketiga bunga yang indah berada di sini.

Aku merentangkan tanganku dan menggenggam pagar di halaman depan apartemenku. Sedikit menikmati udara yang sejuk dan langit yang mulai biru. Lalu kutatap jalanan di bawah sana. Mungkin seseorang yang baru saja mengantar bunga itu masih berada di sana, memperhatikanku. Sebenarnya, itu harapku saja.

*** 

Hari ini juga aku akan bertemu dengan Mbak Feli, Ali dan Mas Dimas untuk membahas jadwal pembacaan naskah. Sebenarnya, itu sudah menjadi keputusan Mas Dimas dan crew, tapi sepertinya dia ingin mendengar pendapatku, yang sebenarnya tidak berpengaruh dan tidak terlalu penting. Aku lagi-lagi datang lebih awal, di susul Mbak Feli. Dia duduk di dekatku. Ada yang aneh dengan sikapnya hari itu. Dia menjadi –sedikit- dingin padaku. Dia bahkan tidak menyapa dengan hangat. Mendadak sekali sikapnya begini, membuatku bingung dan bertanya-tanya. Kutunggu sampai ia menatapku agar mudah kusapa, tapi sampai Ali tiba, Mbak Feli ini tidak kunjung menoleh ke arahku. Kenapa ya?

Ali datang dan duduk di sampingku, ia bahkan mendekatkan kursinya padaku, tubuhnya sedikit dicondongkan. Aku menatapnya tajam dan sinis. Dia hanya tersenyum manis. Aku menunggu Mas Dimas memulai meeting ini dengan perasaan tidak nyaman, tiba-tiba sangat canggung. Aku bingung. Tiba-tiba saja, Ali menggenggam tanganku sehingga aku terkejut.

Lihat selengkapnya