PEONY

Lilly Amundsen
Chapter #4

POENY : I'M OK

Aku berjalan menuju toko bunganya, dan berhenti pada jarak 5 meter. Di sana, aku menemukan Bas tengah sibuk membereskan bunga, terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Dia bahkan terlihat baik-baik saja. Kupikir, setelah bertemu denganku, dia akan sama compang-campingnya, tapi sepertinya hanya aku. Hanya aku yang porak-poranda, sedang dia tidak. Apa yang kuharapakan?

Tanpa pikir panjang aku mendekatinya dan berhenti di hadapannya. Dia belum menyadari keberadaanku. Bunga-bunga Daisy yang ia bereskan itu tampak cantik dan bersih, meski sedikit layu. Mungkin hanya akan bertahan 1 sampai 2 hari di vas berisi air. Dia terlalu fokus. Mungkin juga sedang mendengarkan sebuah musik di telinganya, dan benar saja. Dia menghempaskan tangannya cukup kuat, sampai headset-nya terlepas. Musik dari ponselnya mengalun, itu lagu Sit Down Beside Me milik Patrick Watson. Dia berusaha meraih headset-nya, lalu menyadari keberadaanku. Dia menatapku dengan wajah datarnya, mungkin juga terkejut. Dia menatapku, tertegun. Aku entah mengapa kesal sekali melihatnya. Dan kakiku membawaku pergi dari sana dengan cepat.

Aku duduk di samping jendela di sebuah angkutan umum menuju rumah. Membayangkan wajah Baskara dan lagu yang ia putar, membuat rasa benci dan kecewaku yang sudah lama lenyap tiba-tiba saja bergejolak, hendak bangkit sepertinya. Atau mungkin selama ini mereka hanya beristirahat. Aku, anehnya, lagi-lagi merasa dikhianati oleh Baskara.

Aku sampai di rumah dengan perasaan tidak karuan, semuanya bercampur menjadi aura negatif yang begitu kuat sampai-sampai bisa membuat hari yang cerah ini terlihat menjadi kelabu. Aku menjatuhkan tubuhku di tempat tidurku. Harusnya aku tidak datang ke sana. Kudekap lututku yang semakin mendekati wajahku. Mendengar suara Patrick Watson memaki-makiku menggunakan lagu dan suaranya yang misterius. Tapi aku tidak bisa menahan kakiku untuk tidak datang ke sana, walau aku tahu akan terluka ratusan kali.

***

Aku datang ke sebuah kafe belajar, mencari Alya, temanku yang sudah lebih dulu datang. Dia melambaikan tangannya sebab ya, di sini tidak boleh berteriak. Aku membalas lambaian tangannya sembari tersenyum. Buru-buru duduk di sampingnya. Dia terlihat niat sekali, membawa semuanya, buku, laptop, ipad, dan notebook.

“Kamu tinggal di sini, ya?” Tanyaku padanya setelah melihat semua barang-barang yang ia bawa itu.

“Huh? Ya kali, siapa yang mau tinggal di tempat kaya gini, orang-orangnya aja ngebosenin parah”

Aku menatapnya, “Terus semua barang ini kenapa di sini?” tanyaku ingin tertawa.

“Kamu tahu, mereka semua terlihat pintar dengan semua barang-barang ini”

“Jadi kamu ingin dilihat pintar?”

“Tentu saja. Yang enggak pinter kayak aku juga ingin dapet jodoh yang pinter kali. Gak adil kalo pinter sama yang pinter, harus seimbang dong, biar populasi di bumi pada pinter semua.”

Aku tersenyum, lalu mengeluarkan laptopku. "Tapi bukannya pinter itu turunan dari Ibu, ya?"

"Haaah, ibuku dosen, kamu tahu itu, El. Tapi aku, lihatlah, anaknya ini berantakan banget."

Aku hanya tersenyum. “By the way, kalo ada dunia kaya gitu, kasih tau aku, ya. Aku mau pindah ke sana.” Balasku sembari menatap layar laptopku. Lalu aku mengangkat pandanganku menatapnya.

Dia juga menatapku. Saat di mana kedua mata kami bertemu, aku menjadi begitu takut sehingga buru-buru berpaling.

“El ...” Panggilnya, tak lama setelah itu.

Aku tidak mau membuatnya khawatir terlepas bagaimana keadaanku. Aku tersenyum menatapnya, lalu membalas, “I’m ok."

Dia, bagaimanapun, jangan sampai tahu soal Baskara.

Lihat selengkapnya