PEONY

Lilly Amundsen
Chapter #5

PEONI : THE BEGINNING

Pagi ini, udara begitu sejuk seperti biasa. Tapi entah kenapa, baru keluar dari pintu, tubuhku sudah menggigil, alhasil aku masuk ke apartemen lagi dan mengenakkan mantel tebal yang hangat. Dan sekarang, aku merasa jauh lebih baik. Mobil jazz berwarna putih itu terparkir di depan apartemenku. Si pengemudi mengenakkan sweater, topi, dan masker. Ribet sekali ya pergi bersama superstar. Ke mana-mana harus hati-hati, jangan sampai terkena skandal atau gosip, bisa-bisa karirnya rusak, tapi juga bisa semakin melejit. Kalau aku, tidak ada yang perlu kukhawatirkan, tapi aku juga tidak mau sampai terlibat skandal dengannya dan menjadi sorotan. Kukenakkan maskerku dan berjalan menuju mobil itu.

Dia terlihat diam saja walau aku sudah di dekat mobilnya. Kuketuk pintu mobilnya, tapi dia tidak menyaut juga. Sepertinya dia terlelap dengan posisi kepalanya yang menyandar ke kursi. Aku menghubunginya melalui nomor ponselnya, menunggu cukup lama sampai akhirnya dia bangun juga.

“Hallo?” Suaranya terdengar serak.

Kuketuk jendela mobilnya sekali lagi. Ia menatapku, lalu membuka pintu mobilnya yang terkunci. Aku masuk dan merasakan perbedaan udara di luar mobil dengan di dalam mobil.

“Di luar dingin banget.” Ujarku sembari menggesekkan kedua telapak tanganku sehingga menghasilkan energi panas. “Kamu tidur di sini?” Tanyaku padanya.

Dia mengangguk. Masih belum terkumpul nyawanya, sepertinya. Dia juga terlihat kelelahan. Akan sangat berisiko sekali jika dia berkendara dalam keadaan lelah dan kantuk begini.

“Kamu tidur di sini dari kapan?” Tanyaku lagi. Aku butuh informasi lebih banyak agar bisa memutuskan perjalanan kali ini lanjut atau tidak.

“Ya, kayaknya jam 5 lah.” Jawabnya sembari menguap. Ia mengerjap beberapa kali, berusaha membuat kedua matanya fokus. “Kita mau ke mana hari ini?” Tanya Ali dengan menguap lagi, dan wajahnya benar-benar lucu.

Masih pukul 6.30 pagi, dia baru tidur sekitar 1 jam lebih, tapi bisa juga kurang. Berkali-kali kepalanya hampir terjatuh ke depan karena kantuk yang semakin akut. Hampir saja kepalanya membentur setir di depannya jika aku tidak memeganginya. Dia mungkin baru selesai bekerja. Karena berusaha menepati janjinya, ia memilih datang ke sini dan tidur di mobil dengan posisi yang tidak nyaman sama sekali.

“Kamu pulang aja.” Ujarku sembari membenarkan kepalanya.

“Heum?” Dia bertanya, tapi dari kedua matanya yang masih terpejam, sepertinya saat ini dia sudah masuk lagi ke alam bawah sadarnya.

Aku tersenyum.

“Mau tidur di sini atau di apartemen?” Tanyaku padanya.

“Hah? Di apartemen?” Tiba-tiba saja kedua matanya terbuka lebar. Ia mengerjap lagi, lalu kedua matanya terpejam lagi.

“Dasar laki-laki.” Ya, semua laki-laki, pada dasarnya memang sama saja.

Aku menghubungi Mbak Vivi, managernya Ali. Tapi tetap tidak tersambung juga. Mungkin beliau juga sedang istirahat karena lelah setelah menemani Ali bekerja sampai pagi begini. Actor-nya lelah, apalagi managernya. Biasanya, yang mengurus selalu lebih lelah. Seperti Ibu yang lelah mengurus anaknya, ya, memang tidak bisa disamakan, tapi perumpamaan kurang lebih mirip.

“Al” Aku memanggilnya sembari goyangkan lengannya.

“Ali!” panggilku lagi. Tapi dia hanya menggeliat dan tidak bangun sama sekali. Dia sudah semakin masuk ke dalam alam bawah sadarnya, mungkin saja sekarang Ali sedang bermimpi indah.

Aku menunggu di sana, di kursi sebelahnya. Tapi anehnya kantuk justru merambat padaku. Mataku yang sebelumnya segar, kini menjadi begitu berat dan menerus jatuh .

Hah, masa aku tidur juga sih. Tidak! Aku tidak boleh tidur. Tapi aku juga tidak bisa menahannya lagi. Hah, ada apa dengan hari ini?

Lihat selengkapnya