Hari berikutnya, aku bertemu lagi dengan Baskara di ruang seni. Dia menatapku seperti banteng yang siap menghempasku ke angkasa. Aku hanya menatapnya bingung. Dia tidak mengatakan apa pun sampai akhirnya guru seni kami datang. Hari ini beliau akan menjelaskan tema besar dan sub tema dari perlombaan ini. Aku sangat bersemangat. Perlombaan kali ini ialah tentang kenangan yang tak ingin kulupakan. Aku tidak tahu apa yang akan kutulis.
“Kamu udah punya gambaran, El?” Tanya guru seni kami padaku.
Aku tentu saja belum. Aku harus bertapa terlebih dahulu sehari semalam, baru bisa mendapatkan ide, itu pun jika aku beruntung.
“Belum, Bu.” Jawabku bingung sekali.
“Oke, kalau kamu Baskara, gimana?” Tanya guru seni kami pada Bas. Aku menatap Bas juga, penasaran dan berharap apa yang Bas katakan bisa membuka imajinasiku.
“Saya, akan memvisualisasikan puisi Elena, Bu.”
Ya, percuma saja berharap padanya, ternyata. Sekarang justru aku yang harus berpikir sendirian.
“Bagus tuh, gimana kalau kalian diskusi, satu cerita bisa dijadikan dua karya, kan keren.” Ujar guru seni kami, dia mengatakannya bahkan dengan tersenyum.
Baiklah. Aku mengangguk, walau tidak senang sekali. Sekarang, aku dan Bas bertatapan. Dia menatapku dengan licik, seperti seekor rubah yang siap menjebak mangsanya. Sial sekali.
Sepulang dari sekolah, Bas mengikuti terus-menerus.
“El, kamu keterlaluan banget.”
Aku terus saja berjalan, berusaha menghiraukannya. Tapi dia juga terus mengikutiku seperti anak yang sedang menuntut tanggung jawab ibunya.
“El, sumpah itu malu-maluin banget.”
Aku tidak peduli, aku tidak mau mendengarnya. Aku terus berjalan dan menemukan Safira di gerbang. Dia pasti baru selesai dengan grup matematika yang akan mewakili sekolah kami.
“Safira!” Panggilku, aku berlari menuju Safira di gerbang.
Dia tersenyum padaku.
“Kamu baru pulang?” Tanya Safira padaku.
Aku mengangguk, “Iya, kamu juga?” Tanyaku balik.
“Iya, tumben banget hari ini beres cepet.” Balasnya.
“Iya, biasanya sampe jam 8 malem, tuh.”
“Aku jadinya bisa nonton Naruto deh.” Ujarnya lagi.
Aku turut bahagia mendengarnya bahagia. Baskara berada di sisi kananku, mengintimidasiku. Sepertinya, Safira menyelamatkan aku dari dia, si penggangguku.
Saat di Bus, aku duduk bersama Safira, sedang Bas duduk di seberang dengan seorang wanita dewasa yang cantik. Aku tidak bisa untuk tidak mengeceknya.