PEONY

Lilly Amundsen
Chapter #7

PEONY : HIS HOUSE

Siang itu, dia menarik tasku ke belakang sampai menabrak tubuhnya. Aku berbalik dengan perasaan kesal dan marah. Menemukan wajahnya yang biasa saja, membuat kesal dan marahku mereda.

“Apa sih?” Tanyaku ketus.

Dia melepaskan tasku. Entah mengapa, aku sedikit kecewa.

“Kerja kelompok di rumah kamu, gimana?” Ujarnya.

Aku berbalik.

“Enggak!” Jawabku dengan tegas.

Dia tidak terlihat kecewa.

“Ya udah ....”

Aku mulai bingung, reaksinya biasa saja, biasa sekali. Lalu dia mulai menatapku.

“Di rumahku aja.” Lanjutnya dengan begitu yakin dan tenang.

Oke, aku suka jawaban itu.

Aku berjalan mengekor di belakangnya dengan perasaan yang senang bukan kepayang. Kami menunggu angkot datang dengan duduk di kursi dekat pos satpam. Dia banyak diamnya, tentu saja. Tapi aku tidak ada habis-habisnya tersenyum saking senangnya. Ini mungkin pertama kalinya aku pergi ke rumah teman laki-lakiku di SMA, mungkin juga menjadi teman wanita yang datang ke rumahnya di SMA. Aaaaakh, memikirkannya saja nyaris membuatku sinting.

Angkot berwarna hijau itu akhirnya datang. Aku duduk di dekat pintu keluar, sampai akhirnya Bas menarikku lagi ke belakang, dekat dengannya. Untung saja, tidak terlalu banyak orang di angkot itu. Aku gugup sekali.

“Rumah aku jauh.” Ujarnya, dengan melepaskanku.

“Oh ...” Balasku sembari menganggukkan kepalaku berkali-kali.

Ya, dia pasti berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kepalaku.

Angkot ini melaju. Tidak cepat dan tidak lambat juga. Rambutku tersapu oleh angin yang masuk dari celah jendela yang sengaja terbuka. Rambutku melambai dengan lembut. Sekarang aku merasa seperti pemeran utama wanita di cerita romansa anak remaja. Aku tersenyum bangga dengan perjalanan kisahku sejauh ini. Tiba-tiba,

“Ih, apa sih?” Tanyaku kesal sembari menatap pada Bas.

Dia menunjukkan ikat rambut di tangannya dengan wajah terkejut.

“Aku nemu ini di meja kelas, jadi kupikir bakal cocok sama kamu.” Jawabnya, dengan wajah itu.

Dia, kenapa begitu sih. Wajahnya datar sekali, tapi justru membuat gemas. “Bilang kali. Kamu gak boleh ya sentuh aku tanpa seizin aku.” Balasku menahan kesal.

Aku mengambil ikatan rambut itu, lalu mengikat rambutku. Setelah selesai, aku menoleh. “Gimana?” Tanyaku padanya.

Harusnya dia yang bertanya, tapi ini, justru aku yang penasaran, apa kiranya yang ia pikirkan tentangku. Dia membenarkan beberapa rambutku di bagian depan, dan juga poniku, yang sebenarnya sudah panjang sekali. Aku, hanya sibuk memperhatikan wajahnya yang begitu fokus pada rambutku. Berapa lama lagi, sampai aku bisa memanggilnya milikku? Ya, aku sepertinya sudah benar-benar sinting, dipenuhi olehnya.

“Coba kamu ngaca pake ini deh.” Ujarnya memberikan ponselnya setelah ia selesai dengan sentuhan terakhirnya.

Aku menyalakan ponselnya, dan menemukan layar dengan papan password yang harus ku masukkan.

“Ini?” Tanyaku padanya.

Lihat selengkapnya