Eran menggosok-gosok matanya yang masih terasa kantuk, terbangun dari tidurnya yang pendek di kereta kuda usang tersebut. Ketika lelaki tua yang menjadi pengemudi memberitahunya bahwa mereka telah mencapai tujuan, Eran melihat sekeliling dan melihat persimpangan jalan yang terbentang di depannya.
"Bangun anak muda!" teriak lelaki tua tangannya fokus memainkan kekang untuk menenangkan kudanya. Kereta pun berhenti, tidak bisa disebut kereta kuda bila dilihat dari bentuk yang sudah terlihat usang. Pria muda itu pun terbangun, sedikit sadar ia dapat melihat persimpangan jalan didepannya.
"Turunlah, aku hanya bisa mengantarmu sampai sini saja," ucap lelaki tua itu.
Eran melangkah turun dari kereta kuda usang itu, menghirup udara segar pagi yang menyegarkan. Dia merasa sedikit kaku setelah tidur di kereta yang sempit, namun kesadaran telah kembali sepenuhnya. Menatap sekelilingnya, dia menyadari bahwa dia berada di persimpangan jalan yang tidak begitu ramai. Di kejauhan, Eran melihat pemandangan pedesaan yang indah, ditandai dengan perbukitan hijau yang menghijau di bawah sinar matahari pagi.
"Sudah sampai di tujuan, ya?" ucap Eran kepada pengemudi kereta itu.
Pengemudi itu mengangguk, "Ya, ini adalah tempat yang kau minta untuk berhenti. Tidak ada jalan lain dari sini."
Eran menyampaikan terima kasih kepada pengemudi tersebut, lalu mengeluarkan beberapa koin dari sakunya untuk membayar jasanya. Meski kereta itu tua dan usang, tapi Eran merasa berterima kasih karena kereta itu membawanya dengan selamat sampai ke tujuan.
Pengemudi itu menolak uang yang diberikan Eran. "Simpan saja, aku sedang terburu-buru, anggap saja kau beruntung."
Lalu tanpa menunggu lama kereta kuda usang itupun melanjutkan perjalanan meninggalkannya sendirian.
Ia melangkahkan kakinya, matanya dapat melihat tak jauh dari sana terdapat desa. Eran mengenakan tudung jubah hitamnya, tak banyak yang membebani dibadannya, hanya tas kecil yang melekat di pinggangnya.
Ia memilih tepi jalan untuk dilewati menghindari kubangan air dan tanah yang becek. Cuaca sedang tak bersahabat malam menjadi semakin gelap karenanya, ia sangat membenci hujan. Saat memasuki desa ia melihat papan tua berlumut bertuliskan Alku. Itu adalah desa ramai yang dikenal jauh dan luas karena reputasinya sebagai pusat tentara bayaran yang mencari tujuan, petualangan, dan koin.
Suasana desa terlihat ramai mereka tak memperdulikan hujan yang sedang turun. Desa ini adalah desa paling padat di kerajaan Beranmod, itu karena lokasinya yang sangat dekat dengan perbatasan menjadikan desa ini juga sering dijadikan untuk persinggahan bagi para pendatang dan perdagangan bagi para saudagar.
Saat Eran memasuki lebih dalam area desa, gemuruh para pedagang yang menjajakan dagangannya dan aroma berbagai masakan yang melayang di udara menyerang indranya.
Eran melirik disetiap tembok terdapat bendera kuning berlambang dua coin, sudah sangat jelas bila desa Alku adalah kekuasaan Kerajaan Berillan yang dikuasai oleh Heirs of Golden, di kenal sebagai Clan Hunter yang banyak menciptakan pemburu dan pemanah mematikan, selain itu mereka juga tercatat sebagai penyokong dana terbesar di Kekaisaran tak heran bila Heirs mereka adalah yang terkaya di benua Anthares.
Eran, mencari jeda sesaat dari beratnya tujuannya, berjalan melalui jalan-jalan ramai di Desa Alku ke sebuah kedai minuman kuno yang terletak di antara tempat-tempat yang ramai. Udara kental dengan aroma makanan lezat dan tawa riang para pengunjung.
Tak terasa Eran sudah berada didepan bangunan tua yang terlihat sedikit kumuh diatas pintunya terukir tulisan Freya Tavern lalu ia memasukinya.
Duduk di meja sudut, Eran ingin memesan segelas ale dan sepotong pai apel, mendambakan kenyamanan yang mereka tawarkan. Suasana hangat kedai memberikan penangguhan sementara dari bayang-bayang yang membayangi jiwanya, setidaknya itulah yang ia inginkan.
Namun kenyataan dan khayalannya tak terlihat sejalan, nyatanya suasana didalam sangat sesak dan berisik. Saat ia berada disana ia memperhatikan sekitar ia menghembuskan nafasnya jengah, ia sangat benci berada di keramaian seperti ini, tak lama pelayan menghampirinya.
"Apa yang ingin kau makan bocah bertudung?" tanya pelayan tua itu dengan nada jengah.
"Berikan aku sepiring pie dan segelas ale."
Lalu pelayan itu pergi. Tatapan Eran mengembara, tidak tertarik pada percakapan riang dan tawa yang memenuhi kedai. Dia puas dengan kesendiriannya, otaknya sama sekali tidak menemukan sedikit minat untuk terlibat dengan orang asing.
Namun, di tengah pesta pora, seorang Bard terlihat menarik perhatian Eran, dia terlihat memetik Lute ditangannya bernyanyi dan menari gembira diatas meja panjang. Dibawahnya orang-orang melingkarinya dan terbawa dalam pertunjukan itu. Suara menenun melodinya bergema di seluruh kedai, menganyam cerita tentang keberanian dan kehilangan cinta dengan suara yang membangkitkan emosi, memikat para pengunjung.
"Pie dan alle," ujar pelayan tua tadi sambil menyodorkannya pada Eran, lalu pergi lagi setelah menerima bayaran. Eran lebih memilih meneguk alle, minuman keras ini sangat cocok di cuaca dingin seperti. Tidak ada yang lebih nikmat selain pie setelah meneguk alle.
Rasa apel manis dan lembut menyatu dengan kulit pie yang renyah dan gurih, menciptakan harmoni rasa di mulutnya. Ia menikmati hidangan itu dengan perasaan puas, seolah-olah segala masalah yang menghantuinya sedari tadi menghilang seketika.
Kedai itu semakin ramai, dan Eran merasa lebih nyaman duduk di meja sudut yang menyediakan sedikit privasi.
Saat nada terakhir bergema di seluruh kedai, Bard yang menjadi pusat perhatuan itu berjalan menuju meja Eran, dengan sengaja mencarinya. Tatapan sedingin es Eran bertemu dengan senyum hangat sang penyair, benturan kepribadian yang kontras dalam sekejap itu.
"Menurut desas-desus yang beredar alle didesa ini adalah yang terbaik, mereka membuatnya dengan fermentasi berry matang dan sedikit tambahan garam. Intensitas alkoholnya tinggi tapi sangat nikmat ditenggorokan."
Eran melihat sumber suara yang ada didepannya, terlihat Bard yang bernyanyi tadi sudah duduk satu meja dengannya. Eran memilih diam tak menanggapi dan menikmati pie nya. Omong kosong Bard itu biasanya akan berhasil jika dihadapakan pada orang normal, kali ini ia gagal memikat perhatian Eran. Sikap dinginnya tetap tidak berubah, tidak terpengaruh oleh upaya penyair untuk menariknya ke dalam percakapan. Lalu bard itu melanjutkan.
"Dan itu adalah pie yang dibuat dari apple merah yang terlalu matang, daripada membuangnya mereka lebih memilih mengolahnya dan menjualnya lagi."
"Apa yang kau inginkan, bard? Aku hanya punya sedikit kesabaran untuk dongeng dan obrolan kosong," potong Eran jengah.
"Halbarad," jelas Bard memperkenalkan diri dengan paksa lalu melanjutkan, "Aku baru pertama kali melihatmu disini tuan bertudung misterius, kemana tujuanmu ?"
"Jika kau melihat tampilanku kau seharusnya bisa menebak, bahkan anak kecil pun tau apa tujuanku."
"Wah sudah kuduga, kabarnya tersebar sangat cepat dari yang kuduga. Bahkan Band of the Sun juga sudah ada di desa ini dari tiga hari yang lalu," Eran terkejut mendengar penuturan dari Halbarad.
"Oh, tak heran mereka menjadi yang teratas," ujar Eran mencoba tenang.
Band of the Sun adalah sekumpulan pasukan mercenary yang berada di puncak tertinggi, apapun misi yang mereka emban pasti akan terselesaikan dengan sempurna. Tidak ada yang meragukan kekuatan mereka.
"Jadi, dimana teman-temanmu?" tanya Halbarad sambil meneguk alle-nya.