Theo masih tak bergerak dari lantai, napasnya masih terengah-engah, ketegangan yang belum hilang dan tubuhnya masih bergetar oleh pengaruh dari kabut hitam yang baru saja menyelimuti mereka, meninggalkan jejak aneh yang masih menggeliat dalam pikirannya.
Kabut hitam itu, seperti cambukan kegelapan, hampir menguasai tubuh mereka, menjadikan mereka seperti boneka dalam cengkeraman kekuatan yang sangat jahat.
Theo mencoba keras untuk meredakan gelisah dalam dadanya, berusaha menyelaraskan irama nafasnya yang terengah-engah dengan denyut jantung yang masih berdetak keras. Kecemasan masih menyisir kulitnya, tetapi dia tahu bahwa kemenangan baru saja mereka raih. Dengan perlahan, dia menoleh untuk mencari sosok Catallina.
Theo menemukannya. "Kita berhasil, Cata," ucapnya.
Theo bangkit dengan sedikit kesulitan, langkahnya menuju Catallina, yang masih terbaring di lantai seperti puing-puing. Temannya dalam situasi yang begitu rapuh.
"Cata! Kau tak apa-apa kan?" tanyanya panik, sementara tangannya lembut memegang bahu Catallina. Sejenak ia merasa seperti dunia berhenti berputar, tetapi dia segera menenangkan diri ketika melihat nafasnya yang masih berdesis dengan ritme yang tenang.
Theo duduk, mencoba untuk memulihkan diri dari kelelahan fisik dan mental yang begitu besar. Dia menutupi wajahnya dengan satu tangan, sinar matahari mulai merayap masuk melalui retakan-retakan dinding yang hancur akibat pertempuran.
Sementara sinar matahari yang perlahan-lahan menghidupkan ruangan yang gelap, Theo merenung kembali pada kejadian-kejadian yang baru saja ia alami. Bayangan kengerian, serangan yang ganas, dan kabut hitam misterius yang menghantuinya, semuanya melingkari pikirannya.
Pendeta yang berubah menjadi iblis tadi, mengucapkan sesuatu yang Theo tidak dapat lupakan. Kata-kata itu terasa begitu familier, meskipun maknanya masih menjadi teka-teki yang belum terpecahkan. "Pewaris? Apa hubungannya dengan diriku?" gumamnya dalam ketidakpastian, menjelajahi lorong gelap di dalam pikirannya.
Kembali Theo teringat pada momen saat perjalanan mereka menuju Istana Kerajaan Berillan, di mana ia juga bertemu dengan orang yang terkena wabah mengerikan, mirip dengan apa yang sedang terjadi di kota ini. Kedengarannya seperti omong kosong, tetapi Theo merasa ada benang merah yang mengikat semua ini bersama.
Theo mengangkat dirinya dari tanah, pandangannya menjelajahi ruangan yang sekarang terlihat hancur berantakan. Serangan brutal Lord Elias telah menyisakan pemandangan yang menakutkan. Jasad lima prajurit tergeletak di sana, tubuh mereka terpotong-potong akibat serangan ganas itu. Sedangkan Jendral Dorgs, yang tampaknya bertarung habis-habisan dengan Catallina terbaring tak berdaya.
Theo mendekati Jendral Dorgs yang terkapar. Ia dengan lembut menutup mata Jendral yang begitu perkasa itu dan menyampaikan doa untuknya. Meskipun mereka berjuang di pihak yang berlawanan, Jendral Dorgs adalah korban atas tipu daya Iblis yang licik.
Namun, tiba-tiba, suara memekakkan telinga memecah keheningan. Suara itu memanggil Theo dengan sangat mendesak.
Terdengar dengan nada panik. "Theo! Theo, di mana kau?!"
Theo terkejut mendengarnya, dan dengan cepat ia mengarahkan pandangannya ke arah asal suara tersebut. Dia melihat Catallina yang telah sadar dari pingsannya dan kini berdiri di tengah kehancuran. Secepat kilat, Theo bergerak mendekatinya, tangan-tangannya meraih bahu Catallina.
"Theo! Syukurlah kau tak apa-apa," ucap Catallina dengan suara gemetarm lalu memeluk Pangeran berambut emas itu.
Theo merasa lega, tetapi juga merasa bahwa dia yang seharusnya mengucapkan kata-kata tersebut. Dia melihat mata Catallina yang penuh ketakutan dan kengerian, dan memahami bahwa gadis itu telah melalui momen sama mencekam dengannya.
"Seharusnya aku yang berkata seperti itu," jawab Theo, suaranya penuh dengan rasa syukur.