Perjalanan mereka melalui hutan yang semakin gelap menjadi lebih tegang dengan setiap detik yang berlalu. Kain, Eran, dan Taneaya terus melaju tanpa berhenti, terus memacu kuda mereka, berjuang melewati pepohonan dan semak-semak yang terlihat mencekam di bawah cahaya remang-remang matahari yang semakin tenggelam.
Saat mereka berusaha menutupi jarak dengan pemburu-pemburu yang mengejar mereka, Eran memperhatikan Taneaya masih sangat gemetar. Dia memahami, Taneaya seperti telah melalui banyak hal yang traumatis.
Taneaya, yang terlihat pucat dan ketakutan, meraih erat pinggiran pelana kuda Eran. Matanya terlihat tegang mencari perlindungan di wajah Eran. Eran mencoba memberinya senyuman lembut, meskipun situasinya sangat genting. "Kau baik-baik saja, Taneaya. Aku akan menjagamu."
Tapi mereka tidak punya waktu untuk berlama-lama dalam kenyamanan ini. Suara langkah kuda dan cekikan sepatu yang mendekat dari belakang mengingatkan mereka bahwa Dignus dan pasukannya masih dalam pengejaran.
Tanda-tanda kejaran menjadi semakin jelas. Teriakan Dignus kepada prajurit-prajuritnya untuk mengejar mereka memecah keheningan hutan, dan dentuman dari kuda yang melesat di belakang mereka memekakkan telinga.
Kain, yang memimpin rombongan, mengulurkan tangannya ke belakang pada Eran memberi tanda. "Kita harus terus bergerak. Jangan lepaskan Taneaya, Eran."
Eran mengangguk, menggenggam Taneaya lebih erat. Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat, mencoba untuk mendapatkan jarak lebih jauh dari pengejaran Dignus. Tapi, Dignus tidak akan melepaskan mereka begitu saja.
Prajurit-prajurit Dignus semakin mendekat, mereka dengan cermat mengarahkan anak panah mereka ke arah rombongan yang terus berlari. Tiga panah melesat melewati kepala mereka dengan cepat.
Kain, yang sadar akan bahaya itu, berteriak kepada Eran, "hindari panah-panah itu, Eran! Jangan biarkan mereka mengenaimu."
Eran mengangguk dan mencoba mengendalikan kudanya ke kiri dan kanan, dengan harapan menghindari serangan panah berbahaya. Dia juga mendekap Taneaya lebih dekat, berusaha melindunginya sebaik mungkin.
Dalam kekacauan ini, beberapa prajurit Dignus berhasil mendekati mereka, dan mereka terus menyerang di antara pepohonan. Eran, yang sekarang berusaha untuk menghindari duel berbahaya, berusaha sekuat tenaga untuk melindungi Taneaya.
Kain juga tidak tinggal diam. Dia mensejajarkan langkah kudanya dengan kuda Eran, mencoba untuk membantu Eran melawan dua pengejar berpedang itu. Suara benturan logam dan teriakan yang melengking terdengar di antara pepohonan saat pertempuran semakin intens. Tanpa menunggu lama, Kain berhasil menjatuhkan dua prajurit itu.
"Ayo Eran," Kain pun kembali memimpin jalan.
Taneaya, yang terus duduk di depan Eran, merasa dirinya menjadi beban. Dia merasa tidak berguna saat dua orang pria ini berjuang mati-matian untuk melindunginya. Ketakutan masih merajalela dalam dirinya, tetapi dia tahu dia harus mengatasi rasa takutnya untuk mendukung teman-temannya.
Terlihat satu prajurit berhasil mengejar Eran lagi, ia terus di desak oleh salah satu prajurit Dignus, berusaha sekuat tenaga untuk menghindari serangan dan mempertahankan kendali atas kuda mereka. Kain melihat dari kejauhan bahwa Eran dan Taneaya dalam bahaya. "Sialan, biarkan kami pergi bajingan!" gerutu Kain pelan.
Kain meraih busurnya dan meletuskan sejumlah anak panah ke arah prajurit Dignus yang mendekati mereka. Salah satu anak panah mengenai sasaran, menyebabkan prajurit itu terjatuh dari kudanya. Tapi mereka masih tidak bisa berhenti.
Mereka akhirnya mendengar suara aliran sungai Tossing Rill, yang airnya mengalir deras dan dalam. Ini adalah perbatasan antara dua kerajaan, dan satu-satunya cara untuk melintas adalah dengan melewati jembatan kayu sempit yang terbentang di atas sungai dengan arus yang deras.
Kain melihat jembatan itu. "Jembatan sudah terlihat Eran!"
Eran membalikan badannya mengamati pasukan Dignus dengan hati-hati. Dia melihat Dignus dan pasukannya semakin mendekat, tak lama dia sudah menyusul Kain.
Taneaya, yang masih pucat dan ketakutan, semakin mempererat pegangannya pada tangan kiri Eran.
Kain dan Eran menghentikan kuda mereka sejenak, lalu meraih busur dan anak panah mereka, siap untuk menembak. Setelah itu kedua prajurit Dignus terpental dari atas kudanya.
Namun serangan itu malah membuat kejaran Dignus dan pasukannya semakin dekat. Kain memimpin jalannya menuju jembatan perbatasan yang sempit. "Ayo Eran!"
Eran hanya menjawab dengan mengangguk. Lalu dia menggerakan tali kekang kudanya, namun kudanya tak kunjung bergerak.
Kain yang paling depan sudah berada dekat dengan jembatan. Dia melihat ke belakang, mencari tanda Eran yang mengikuti di belakangnya, tetapi dia tidak melihatnya.
Yang dia dengar hanyalah suara teriakan Eran yang terbawa angin. Tak lama kemudian, suara yang lebih mengerikan menghantam telinganya. Terdengar suara tombak yang meluncur dan menerjang targetnya. Dengan cepat, dia berpaling dan melihat kuda Eran yang terjatuh. Eran dan Taneaya berguling-guling di tanah.
"Eran! Tane!" teriak Kain, seketika itu juga ia menghentikan pacu kudanya dalam kebingungan dan ketakutan.
Tanah yang kasar menyiksa Eran, tetapi dia segera bangkit dan berlari mendekati Taneaya, melupakan rasa sakitnya. Berjuang untuk bangkit setelah terjatuh akibat lemparan tombak yang mengenai kuda Eran. Itu adalah luka fisik yang kecil.