Peperangan dan Ambisi: Buku 2. Emas-Emas Yang Akan Terkikis

Sicksix
Chapter #11

37. Api unggun di Goa

Eran memeluk tubuh Taneaya yang tak sadarkan diri dengan erat, berjuang untuk menjaga agar tidak terpisah oleh arus sungai yang deras. Keduanya terbawa arus cukup jauh, tanpa kendali atas nasib mereka.

Eran, dengan mata yang mencari tahu, mencoba melihat sekeliling, mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai pegangan dalam situasi sekarang. Saat itulah, dia melihat sesuatu yang bisa menjadi penyelamat: sebuah batang kayu yang cukup besar ikut hanyut di dekat mereka.

Dengan segala kekuatannya, Eran meraih batang kayu itu dan menjepitnya dengan erat. Ia kemudian berusaha mengangkat tubuh Taneaya sedikit agar bisa menahan tubuh gadis itu di atas air yang terus bergelombang.

Eran mencoba memanfaatkan batang kayu tersebut sebagai bantuan untuk mengarahkan mereka ke pinggir sungai. Dengan usaha besar, Eran berusaha untuk mendorong batang kayu dan tubuh Taneaya menjauhi aliran sungai yang masih terus menghantam mereka.

Air terus menggoyangkan tubuh mereka, dan Eran merasakan betapa beratnya tugas yang harus ia jalani. Namun, tekadnya untuk menyelamatkan Taneaya dan dirinya sendiri masih ada. Dia tahu bahwa kehidupan mereka tergantung pada usahanya untuk bertahan di tengah aliran sungai yang deras ini.

Setelah berhasil mencapai tepi sungai, Eran dengan cermat meletakkan tubuh Taneaya di tepi sungai yang lebih aman. Setelah itu, dia sendiri naik kepermukaan lalu terjatuh ke tanah dengan kelelahan, napasnya berat dan terengah-engah akibat upaya melawan arus sungai.

Dalam kondisi itu, Eran mengutuk takdir yang membuatnya terperangkap dalam situasi berbahaya ini. "Agh, kenapa aku harus berada dalam situasi seperti ini?" desis Eran dengan nada protes yang keras.

Sambil mencoba menenangkan diri dan mengatur nafasnya, Eran kemudian memeriksa keadaan Taneaya. Saat melihat bahwa gadis itu belum menunjukkan tanda-tanda kesadaran, Eran merasa panik. "Sial!" serunya dengan perasaan cemas.

Eran segera bergerak dengan cepat, menekan dada Taneaya dalam upaya memberikan bantuan pertolongan pertama. Namun, itu tidak cukup, dan Eran tahu bahwa ia harus melakukan lebih banyak lagi. Dengan cepat, dia menjepit hidung Taneaya dan mulai memberikan nafas buatan.

Setelah beberapa percobaan, Taneaya akhirnya mulai menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Gadis itu mulai menggerakkan tubuhnya dan akhirnya memuntahkan air dari mulutnya.

Eran merasa lega melihat Taneaya sadar kembali. Namun, dia sendiri merasa benar-benar lelah dan terduduk di tepi sungai, napasnya masih terengah-engah akibat upaya penyelamatan yang mereka lakukan.

Taneaya terlihat kebingunangan.

"Kita berada di hutan yang cukup jauh," ujar Eran, mencoba memahami situasi Taneaya kebingungan. Taneaya mendengarkan dengan hati-hati, mencoba mengatasi kebingungannya akibat kejadian tadi.

Eran berdiri, menawarkan tangannya pada Taneaya untuk membantu gadis itu bangkit. "Kita harus masuk ke dalam hutan. Di sini masih terlalu terbuka, dan kita bisa terlihat jika mereka mengejar kita. Ayo, berdiri," ujar Eran.

Taneaya mengangguk, meskipun masih pucat dan gemetar, dia mencoba untuk memperlihatkan ketegaran. Bersama-sama, mereka berusaha bangkit dari tanah, merasakan kaki mereka yang masih gemetar setelah kejadian sebelumnya.

Berpikir bahwa mereka lebih aman di dalam hutan yang rimbun ini, Eran dan Taneaya memutuskan untuk memasuki hutan lebat itu. Di dalama hutan menyajikan suasana yang lebih mencekam, dengan sinar matahari yang hanya bisa sedikit menembus dedaunan yang rapat, menciptakan bayangan-bayangan misterius di sekitarnya.

Eran mulai merasa nyeri pada perut bagian belakang, menyadari bahwa tusukan Taneaya tadi masih meninggalkan bekas. Meskipun rasa nyeri itu mengganggu, dia mencoba untuk tidak memperlihatkan ketidaknyamanan. "Kita harus cepat pergi," ujarnya dengan suara hati-hati, sambil melanjutkan perjalanan ke dalam hutan.

Mereka merasa bahwa waktu mereka semakin bergerak. Dignus mungkin akan mengirim lebih banyak pasukan untuk mengejar mereka, dan mereka harus menemukan tempat yang aman untuk bersembunyi.

Walaupun Eran cukup yakin bahwa Dignus tidak akan mengejar mereka karena telah memasuki wilayah Kerajaan Berillan, namun dia tetap waspada. Di wilayah-wilayah seperti ini, terdapat peraturan ketat yang mengharuskan prajurit mendapatkan izin sebelum memasuki wilayah kerajaan lain.

Mereka telah menjelajahi hutan lebih dalam, dan Eran akhirnya melihat sebuah goa yang tertutupi semak belukar. "Taneaya, ada goa di sana," kata Eran sambil menunjuk ke arah goa itu. Mereka berdua bergegas menuju goa tersebut dan memasukinya.

Eran menunjuk ke sebuah sudut di dalam goa yang lebih aman. "Ayo kita beristirahat di sini. Aku akan mencari kayu bakar agar kita bisa membuat api dan menghangatkan tubuh kita," ujarnya pada Taneaya, yang hanya diam mengangguk setuju.

Tapi kemudian Eran menyadari bahwa dia tidak membawa senjata tajam atau pisau. "Maaf, aku lupa belatiku tertinggal saat bertarung tadi. Taneaya, bolehkah aku meminjam salah satu pedangmu?" tanyanya pada Taneaya.

Taneaya memberikan satu pedangnya kepada Eran dan mengangguk. "Tunggulah di sini," ucap Eran sekali lagi sebelum pergi.

Lalu Eran meninggalkan goa dan melanjutkan pencariannya di hutan. Dia mencari beberapa ranting kering yang bisa digunakan untuk membuat api. Selain itu, Eran memutuskan untuk mencoba mencari beberapa jamur dan sayuran lalu berburu beberapa ekor kelinci yang ia lihat berkeliaran sebelumnya.

Dengan tangan cekatan, Eran mengambil sebatang batang kayu yang cukup panjang dan kuat. Dia pun mulai meruncingkan salah satu ujungnya untuk dijadikan tombak, sementara matahari sudah mencapai titik tengahnya, menandakan bahwa siang hari telah tiba.

Setelah beberapa waktu, Eran akhirnya kembali ke dalam goa. "Apa aku terlalu lama?" tanyanya pada Taneaya, sedikit khawatir karena waktu yang dihabiskan di luar goa cukup lama.

Taneaya menggeleng dan tampak lebih tertarik pada apa yang Eran bawa. "Apa itu?" tanyanya, menunjuk pada sesuatu yang dibawa Eran.

Lihat selengkapnya