Eran merasa seperti berada dalam pusaran pertanyaan tanpa jawaban yang pasti, seakan-akan dunianya berputar dalam kekacauan. Lalu, terdengar suara yang ia kenal. "Akhirnya, aku menemukan kalian," ucap suara itu.
Tubuh Eran mencoba memberontak dari cengkeraman lengan besar yang mengikatnya. Dia merasa putus asa, dan matahari yang masih terik menyilaukan matanya.
Namun, suara lelaki yang mengunci Eran itu terdengar berusaha menenangkan. "Hei, kau tak perlu panik, kami bukan musuh."
Eran mendengar kata-kata itu tetapi tetap dalam keadaan waspada, dia merasa kesal dan tidak suka dengan keadaannya yang tak berdaya. "Sial!" umpatnya kesal.
"Eran, tenanglah! Ini aku, Gorstag!" seru Gorstag dengan nada kesal. Eran, yang terus bergerak dengan keras, akhirnya berhenti ketika menyadari siapa yang berbicara, dan dia mulai menghela nafas panjang, mencoba meredakan kecemasannya.
Kunci pada lehernya akhirnya dilepas, dan Eran dengan hati-hati menilai situasi di sekelilingnya. Ia melihat beberapa orang berdiri mengitarinya, semua dengan penampilan yang beragam, dari Gorstag dengan wajah khas Barbarian-nya, Kain yang tampak tegang, Uldor yang bersandar di batu, Catallina memeluk erat Taneaya, hingga Theo yang memberikan senyuman kelegaan.
Setelah beberapa detik yang terasa mencekam, Eran merasa perasaan cemasnya mereda. Hatinya berdegup normal kembali, dan ia merasa aman dalam kehadiran teman-temannya.
"Sial, kalian membuatku kaget saja!" umpat Eran, lalu ia menjatuhkan dirinya karena lemas dengan pikirannya yang sudah melayang jauh tadi.
Theo duduk di antara mereka di atas bebatuan, melihat keadaan teman-temannya dengan penuh kekhawatiran. "Apakah kalian baik-baik saja?" tanyanya, suaranya penuh perhatian.
Eran mengangguk lemah, keringat menetes dari dahinya. "Aku benar-benar lelah ... aku merasa seperti akan pingsan kapan saja."
Catallina tetap memeluk Taneaya, mencoba memberikan rasa kenyamanan dan keamanan pada temannya yang tampak terguncang. "Kau sangat berani, Taneaya," katanya dengan lembut.
Taneaya menghela nafas dalam-dalam, penuh rasa bersalah. "Aku ... aku tak ingin membuatmu khawatir, Catallina."
Gorstag, dengan selera humornya yang khas, tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar. "Bukan hanya Eran yang kacau, tapi kau juga, Tane. Tapi jangan khawatir, kau masih terlihat cantik, hehehe."
Kain, yang tidak pernah bisa menahan diri untuk tidak mencela Gorstag, segera memberikan pukulan ringan ke bahunya. "Sekarang bukan saatnya untuk lelucon, otak otot!"
Taneaya, dengan ekspresi melotot, menatap Gorstag dengan tajam. "Apa kau benar-benar tak tahu mengapa aku marah, Gorstag!?"
Gorstag merasa takut, tapi pada saat yang sama, dia tahu bahwa ia mungkin telah mengatakan sesuatu yang menyakitkan. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, kenapa kau marah?" balasnya dengan nada lebih rendah.
Kain, yang tak bisa menahan diri untuk tidak ikut campur, melirik Gorstag dengan senyum mengejek. "Lihat, dia menciut, hahahah."
Gorstag merasa kesal dan hampir mengeluarkan umpatannya, tetapi dengan tatapan Theo yang tajam, dia memilih untuk tetap diam.
Theo, mencoba meredakan ketegangan. "Sudahlah, kita tidak punya waktu untuk bertengkar. Yang terpenting sekarang adalah membawa Eran dan Taneaya ke Desa Alku dengan selamat."
Eran, mencoba meredakan suasana dengan senyuman, merindukan kehadiran teman-temannya. "Ah sial, aku merindukan omong kosong kalian. Meskipun kadang-kadang kalian benar-benar merepotkan."
Eran tiba-tiba merenung dalam hati. Suara dalam dirinya berbicara dalam gelombang perasaan penyesalan, dan dia merenung tentang apa yang telah terjadi.
"Apakah tidak apa-apa seperti ini?" pikirnya, "bukankah aku membuat kesalahan? Bukankah ada cara yang lebih baik, pilihan yang lebih baik yang bisa kupilih? Pada saat ini, aku pikir inilah yang bisa ku lakukan."
Tiba-tiba pikirannya menggali kenangan tentang saat-saat sulit yang telah ia lalui. Saat itu, pilihan yang dia buat tampaknya adalah satu-satunya pilihan yang masuk akal.
"Saat ini, jika aku menemukan diriku dalam situasi yang sama," pikiran Eran terus berputar, "aku merasa seperti akan melakukan hal yang sama lagi. Tapi apakah itu benar-benar tak masalah? Bukankah ada tindakan yang bisa ku ambil sebelum berakhir dalam situasi putus asa seperti itu?"
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya, seperti mantra yang menghantui ingatannya. Eran merasa bahwa, tanpa menemukan jawaban yang memadai, dia akan terus merasa terbelenggu oleh penyesalan. Dia ingin memperbaiki kesalahannya, tetapi juga takut akan konsekuensinya.
Tiba-tiba pikirannya mengarah pada sesuatu hal yang paling ia takutkan, dia merasa bahwa dia belum sepenuhnya diterima oleh mereka. Meskipun dia telah menganggap mereka sebagai keluarganya, pertanyaan-pertanyaan yang menghantui pikirannya adalah apakah perasaan itu terbalas.