Dalam ruangan yang dipenuhi oleh ketegangan, Dignus dan Enid saling berhadapan, matanya yang memancarkan kemarahan dan kebencian satu sama lain. Tidak ada kelemahan yang terlihat dalam postur tubuh keduanya, masing-masing bertekad untuk mengungkap kebenaran yang mendasari konflik mereka.
Tiba-tiba, Dignus mengeluarkan nafas panjang, mencoba meredakan sedikit ketegangan yang memenuhi ruangan itu. "Apa maksudmu?" tanya Dignus dengan suara yang meskipun berusaha tetap tenang, namun terdengar getir.
Enid tak lagi bisa menyembunyikan kekesalannya. "Jangan pura-pura tidak tahu! Aktingmu sangat buruk, Dignus," ujarnya dengan nada yang tak bersahabat. Dengan langkah mantap, ia mendekati Dignus, berdiri tegak di hadapannya. "Bagaimana bisa misi di Desa Hollowfield masih ada di daftar misimu?" ucap Enid dengan nada yang penuh kebingungan.
Dignus mencoba mempertahankan diri, berkata, "aku sudah memerintahkan kepala guild-ku untuk membakarnya saat selebaran itu dikirim ke kota ku."
Wajahnya terlihat pucat karena rasa bersalah, dan tatapan tajam Enid yang menyelidiki setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Namun, Enid yang sudah tak tahan dengan penjelasan tersebut mencengkram erat kerah baju Dignus. "Jika sudah kau musnahkan, kenapa misinya bisa berjalan dan selesai!" desisnya, wajahnya merah padam akibat marah.
Dengan ketegangan, Dignus mencoba menjelaskan dirinya dalam nada yang hampir memelas. "Aku tak tahu soal itu! Aku juga cukup terkejut saat misi itu selesai," kata Dignus, berusaha mempertahankan alibinya dari pertanyaan tajam yang dilemparkan oleh kakak laki-lakinya itu.
Enid merasa tak kunjung puas dengan jawaban itu, dan dengan keras ia melepaskan cengkeramannya pada kerah baju Dignus. Dengan gestur marah, Dignus merapikan kembali kerah bajunya yang terlihat sedikit kusut akibat perlakuan kakaknya. "Tidak bisakah kita membicarakan ini sambil meminum anggur?" tawar Dignus dengan harapan bahwa suasana akan menjadi lebih santai.
Ia berjalan menuju sepasang meja panjang yang diletakkan beberapa kursi di sudut ruangan, berharap bahwa suasana yang lebih nyaman dapat mengurangi ketegangan di antara mereka.
Enid, meski dengan sedikit enggan, mengikuti Dignus menuju meja tersebut dan memilih kursi yang paling dekat dengan jendela. Ia duduk dengan kasar, masih merasakan ketegangan dan kemarahan yang memenuhi pikirannya.
"Aku sungguh tidak tahu, Enid. Seperti yang telah kubilang sebelumnya, semua telah kumusnahkan, dan kau juga tahu bahwa misi itu menghilang selama tiga tahun," jelas Dignus, mencoba menjelaskan bahwa ia telah berusaha melakukan yang terbaik dalam hal tersebut.
Enid, dengan rambut abu-abu panjangnya yang tergerai, tampak berusaha menenangkan diri. Dalam upaya tersebut, ia mengambil anggur dan meneguknya. "Aku tahu siapa yang mengambil misi itu," tiba-tiba ia memberikan pernyataan yang cukup mencengangkan, menambah ketegangan yang ada dalam pertemuan ini.
Dignus terlihat tegang dan bahkan agak terkejut setelah mendengar pernyataan tiba-tiba dari saudaranya. "Benarkah?" Ia merespons dengan sedikit tak percaya.
Enid menjelaskan situasi dengan cermat. "Beberapa minggu kemarin, para prajuritku yang berada di kota ini mengejarnya, setelah melihat orang itu membawa lembaran misi Hollowfield. Namun sayang mereka gagal menghentikannya. Dan sekarang aku lebih terkejut setelah tahu misi itu berhasil selesai," ujarnya dengan nada yang lebih tenang.
Dignus merenung sejenak, lalu menjawab dengan nada tenang. "Aku kira prajuritmu sudah tak ada di kotaku ini."
Enid memutar matanya dengan gerakan menghina. "Hm ... aku hanya mengikuti perintah ayah, kau itu adik yang nakal. Karena itu aku diminta untuk terus mengawasi gerak-gerikmu," ujarnya dengan senyum sinis yang menjengkelkan.
Dignus tak bisa menerima perlakuan kakaknya. "Apakah itu adil? Kaulah seharusnya yang patut untuk diawasi, karena bisnismu itu sudah bisa dibilang tindak kriminal. Perjudian, penjualan budak, tempat pelacuran," protes Dignus dengan nada yang penuh amarah.
Enid hanya tertawa, seolah meremehkan protes adiknya. "Hahahaha ... kau itu lucu, bukankah kau tahu jika kotaku salah satu penyumbang terbesar kerajaan kita. Dan kau juga tahu jika ayah tahu bisnis-bisnis yang berjalan di kotaku, dia tak akan berani menutupnya," jelas Enid dengan angkuh, merasa dirinya di atas angin.
Dignus menepis rasa kebingungannya, terlepas dari keangkuhannya, semua yang ia katakan adalah fakta yang sulit ditentang. Memikirkan itu membuat Dignus kesal. "Cih... berhenti membahas itu," ujarnya dengan nada tegas, meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa kakaknya telah menyentuh titik lemahnya.
Dignus menuangkan anggur ke gelas kakaknya yang sudah kosong dan lalu mengisi gelasnya sendiri. Dengan ragu, ia membagikan informasi. "Aku sempat bertemu mereka yang menyelesaikan misi itu. Rencananya aku akan membawanya ke sini untuk jamuan makan, lalu setelah itu aku akan mengurung mereka di penjara. Lalu mengabarimu, namun ternyata mereka lebih lincah," jelas Dignus, berusaha memberikan penjelasan.
Namun Enid tak bisa meredam sifat angkuhnya, bahkan di tengah pertemuan penuh ketegangan ini. "Hmm ... aku memaklumi itu, karena kau dan para prajuritmu itu sangat lemah," hina Enid, tidak merasa perlu untuk menutupi kebencian yang ia rasakan, lalu ia melanjutkan dengan suara yang semakin mendalam, "namun aku tahu, ternyata yang menjalankan misi ini adalah Band of de Sun. Band yang menurut isu yang beredar merupakan yang paling kuat saat ini." Enid terlihat menggenggam gelasnya dengan cengkraman yang menghancurkan, merasa dirinya adalah pusat dari segalanya, lalu melanjutkan "aku tak perduli, walaupun pemimpin band itu anak kaisar. Tetap saja aku akan menghancurkan siapapun yang berani merusak milikku!"
Dignus, meskipun ia sangat kesal, tetap menunjukkan sifat acuhnya. "Lakukanlah jika kau berani," sahutnya, tak mau mengalah.