Lelaki tua berbadan tegap itu menatap Eran dengan mata tajam, mengisyaratkan seriusitas yang luar biasa. Angin malam berdesir, dan suasana di sekitar mereka dipenuhi dengan nuansa menegangkan. Seolah-olah alam sendiri ikut berpartisipasi dalam perang yang akan segera terjadi.
"Kamu harus lari, Eran," ujar pria tua itu lagi. Suaranya hilang di antara gemerisik angin semakin berkecamuk. Sinar rembulan membuka jendela ke wajahnya, menyingkapkan betapa serius pesan yang disampaikan olehnya.
Eran merenung, matanya tidak pernah beranjak dari wajah pria tua itu. Banyak gerutan menghiasi kulit penuh pengalaman di wajahnya, memberikan kesan bahwa pria itu telah melalui begitu banyak pertempuran. Ada beberapa luka kecil yang menghiasi wajahnya, bekas-bekas dari kisah-kisah heroik yang telah dilaluinya.
Tak terhitung sudah berapa banyak medan perang yang dia saksikan dan teman-teman yang ia lihat menghilang. Tetapi luka-luka yang menutupi wajahnya hanya satu bagian dari cerita masa lalunya, seorang petualangan tangguh tak pernah berhenti, tak peduli kesulitan apa yang ia lewati. Begitulah kata-kata yang sering pria tua itu katakan.
Wajah Eran adalah cerminan masa muda pria tua. Rambutnya yang hitam panjang sampai bahu terlihat berantakan akibat angin malam yang semakin kencang. Dia adalah anak kecil yang polos, belum saatnya untuk menyerap rasa pahit manis dari pertempuran.
"Untuk apa, Ayah? Kenapa tingkahmu menjadi begitu aneh, tidak seperti biasanya?" Eran bertanya dengan nada yang penuh curiga. Rasa khawatirnya mulai tertuang di ucapan-ucapannya.
"Eran, aku mengajarkanmu untuk menuruti setiap perkataan ayah dan ibu," ujar lelaki tua berbicara dengan keras, suaranya terdengar seakan-akan menjadi seruan terakhir yang tak bisa diabaikan.
Eran memandang ayahnya dengan rasa penasaran yang kian mendalam. Mereka berdua berada di tengah sorotan lampu yang mengungkapkan pemandangan yang penuh dengan nuansa menegangkan. Bayangan kota yang terhimpit ketegangan menjadi lebih jelas di mata mereka.
Tiba-tiba, bayangan itu berpindah, memperlihatkan sebuah kota yang tampaknya tengah dilanda krisis yang tak berkesudahan. Di sekitar mereka, terhampar jasad anak-anak kecil, orang tua yang merana, dan orang-orang tak bersalah tergeletak tanpa daya. Kehidupan yang terenggut oleh kekejaman perang terasa seperti luka yang dalam di hati kota itu.
Api berkobar di berbagai sudut kota, merangkul rumah-rumah dan bangunan dengan rakusnya. Gemuruhnya menggema di udara, menciptakan suasana yang tak terlupakan, di mana panasnya tak hanya dirasakan oleh tubuh, tetapi juga oleh jiwa mereka yang terpapar oleh pemandangan mengerikan ini.
Kepulan asap hitam tebal melayang di udara, suram, langit yang suram, seperti sebuah tanda dari kehancuran yang melanda kota tersebut. Mereka melihatnya dengan mata yang penuh dengan ketakutan, terpapar oleh pemandangan yang membuang jauh segala kenyamanan dan kedamaian.
Suhu meningkat secara tajam, seolah-olah alam sendiri ikut serta dalam tragedi ini. Suasana yang terasa panas ini semakin memperdalam kesan kekacauan yang tengah berlangsung.
Sesak, itulah yang terasa. Teriakan histeris memecah keheningan malam, mengisi udara dengan suara-suara kegilaan dan teriakan orang-orang yang berjuang untuk hidup atau berusaha melarikan diri.
Tiba-tiba, di tengah kekacauan yang kacau, terdengar suara teriakan seorang pria tua yang tertimpa bangungan. "Tolong aku!" serunya dengan suara gemetar, mencari pertolongan di tengah pertempuran yang mengerikan ini.
Namun, di sudut lain, terdengar suara rintihan yang mengiris hati. Seorang perempuan yang perutnya membesar berlutut di tanah, matanya penuh dengan ketakutan. "Tolong anakku," ucapnya dengan nada penuh keputusasaan, "tolong jangan bunuh aku dan anakku."
Eran mendengar permohonan perempuan itu dan dia merasa suaranya tercekik.
Lalu, bayangan berpindah dan membuka pandangan pada lima orang anak kecil yang tengah bermain di pusat kota yang damai. Mereka adalah saksi dari dunia nyata yang berbeda, di mana kebahagiaan anak-anak adalah segalanya.
"Dengan serangan ini, aku akan mengalahkanmu," ujar anak kecil berambut hitam itu, sambil terus menyerang salah satu temannya dengan pedang-pedangan kayu yang mereka mainkan.
"Eran, tidak seperti seharusnya. Kau seharusnya kalah, dan Rowy yang menang dan menjadi raja," protes anak kecil lainnya dengan ekspresi serius, mengacungkan pedang-pedangan kayu mereka sebagai lambang perseteruan dalam permainan mereka.
Eran, anak kecil berambut hitam, tersenyum khas. "Ah, benarkah? Tapi kan ini adalah cerita tentang ksatria tanpa nama yang naik menjadi jendral kerajaan," protesnya, berusaha mempertahankan kisah imajinatif mereka.
Lalu, dalam suasana senja yang mulai merambat, salah satu teman Eran memotong percakapan dengan nada penyesalan, "Teman-teman, ayo kita pulang. Waktu sudah cukup sore, besok kita bisa melanjutkan permainan ini."
Seorang teman yang lain setuju, berkata, "Ah, aku harus pulang sekarang. Ibuku pasti marah jika aku terlambat."
Eran merasa kecewa saat dia melihat teman-temannya bersiap untuk pergi. "Kalian tunggu sebentar lagi saja," pintanya dengan nada penuh semangat, berharap agar permainan mereka bisa terus berlanjut.
Tetapi Rowy, teman terdekat Eran, berbicara dengan nada tegas, "Besok saja, Eran. Hari ini sudah cukup panjang." Lalu dia berlari meninggalkan Eran, bergabung dengan teman-teman yang lain yang sudah berjalan pulang.
Eran merasa kesepian, melihat teman-teman sebaya yang meninggalkannya. Namun, ketika dia melihat ke sekelilingnya dan menyadari bahwa kota telah terbenam dalam kegelapan, dia tiba-tiba merasa gelisah. Waktu berlalu begitu cepat, dan dia harus segera pulang.
Tanpa banyak kata, Eran berlari dengan cepat menuju rumahnya. Dia harus melewati jalan-jalan yang mulai sepi, di mana pencahayaan dari lentera-lentera jalan menjadi satu-satunya teman di malam yang semakin gelap.