Peperangan dan Ambisi: Buku 2. Emas-Emas Yang Akan Terkikis

Sicksix
Chapter #16

42. Si Bayangan Sial

"Eran, kau sadar?" Taneaya bertanya dengan ekspresi khawatir di wajahnya. Pelukannya yang hangat kini terlepas.

Terkejut, Eran berusaha memproses apa yang terjadi. "Tane ... aya," gumamnya dengan suara yang masih gemetar, pikirannya masih dalam kebingungan. Ia mencoba untuk bangkit dari tempat tidurnya, namun segera merasakan nyeri hebat di punggungnya.

"Aghh ..." teriaknya, mencoba menahan rasa sakit yang menusuknya.

Taneaya segera mendekat, cemas melihat Eran yang tampak sangat lemah. "Tidur saja, Eran," pintanya dengan lembut, mencoba menenangkan Eran yang masih terluka parah.

Eran memandang Taneaya sejenak, tetapi segera memalingkan wajahnya dengan ekspresi canggung.

Taneaya, yang memahami Eran yang terlihat canggung, bangkit dari tempat tidurnya dan mulai mengenakan pakaiannya.

"Mmm ... Kita ada di mana?" Eran akhirnya membuka suaranya, tetapi masih enggan untuk bertatap muka.

Taneaya, yang telah siap, menjawab, "Kita sudah ada di Alku."

Setelah Taneaya selesai mengenakan pakaiannya, dia mendekati Eran yang masih merasa ragu. "Setelah kejadian itu, kita langsung membawamu kembali ke sini. Terjadi infeksi di luka punggungmu yang kutusuk, maafkan aku," jelas Taneaya dengan nada penyesalan yang tulus.

Eran mencoba merespons dengan rasa bersalah. "Ah, akulah yang meminta maaf karena sudah merepotkan kalian."

Taneaya merasa tak suka dengan Eran yang masih membuang mukanya. Dengan nada tegas, dia berkata, "Mau sampai kapan kau membuang muka, aku sudah berpakaian!"

Eran segera tersadar dan mengangguk. "Ah ... iya ..."

Taneaya menjelaskan dengan penuh perhatian. "Untung saja tidak terlambat, infeksinya bisa menyebar. Karena itu, kau saat itu pingsan."

Eran membesarkan matanya, tampak bingung. "Aku pingsan?" katanya, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.

Taneaya menjawab dengan serius. "Ya, tiga hari."

Eran merenung sejenak dan kemudian berkata sambil menggaruk-garuk pipinya yang sebenarnya tidak gatal. "Eh, sepertinya benar-benar parah ya."

Tapi begitu ia melihat ke sekeliling, ia baru tersadar bahwa ia tak mengenakan pakaian. Hanya selimut yang melingkupi tubuhnya. Ia langsung merasa canggung lagi dan berusaha menutupi dirinya.

Eran merenggut pandangannya ke seluruh sudut tenda, mencari-cari pakaian yang semakin membuatnya merasa canggung. Taneaya, yang sadar akan kebingungannya, segera berdiri dan mengambil pakaian Eran. "Ini, pakailah."

Eran ragu sejenak, lalu ia memohon dengan wajah yang memerah, "Ummm ... bisakah ..."

Taneaya menjawab tanpa ragu, sambil mengeluarkan ekspresi wajah yang menggoda. "Bukankah kita sudah melihat semuanya?"

Eran langsung protes, panik. "Eh ... tidak ... eh ... maksudku ..."

Taneaya tersenyum, mencoba meredakan ketidaknyamanan Eran. "Aku hanya bercanda, Eran. Aku akan keluar sebentar untuk menyiapkan makanan," kata Taneaya sambil tersenyum, lalu ia segera meninggalkan tenda.

Eran merasa sangat malu dan tak bisa menahan panas di wajahnya. Dengan jari-jari gemetarnya, ia segera memakai pakaian yang diberikan Taneaya sambil bergumam, "Sial ..."

***

Di tengah suasana Tavern yang ramai, suara tawa dan kegembiraan memenuhi udara saat Theo dan kelompoknya merayakan keberhasilan dua misi mereka baru-baru ini. Denting tankard dan melodi yang hidup dari para Halbarad si Bard ulung menciptakan suasana yang riuh, membawa rasa lega dan relaksasi bagi para prajurit yang lelah.

Theo mendekati meja yang terletak di sudut tempat Eran duduk, lalu memberikan isyarat mengundang. "Eran, kenapa tidak bergabung?"

Eran, dengan senyum tipis, menggeleng pelan. Lalu, Theo bertanya lagi. "Apa lukamu masih sakit?"

Eran menggeleng lagi. "Semakin lama, ini semakin membaik," jawabnya.

Theo tersenyum dan tampak bersemangat. "Baguslah, jadi ayo bergabung," ajaknya, mencoba membujuk Eran untuk bergabung.

Lihat selengkapnya