"Benarkah, apa mereka yang mengejar kalian saat itu?" tanya Catallina, ingin tau pasti.
Eran mengangguk sambil menyesapakan pandangannya ke arah prajurit yang mereka amati. "Benar, itu adalah prajurit Dignus, mereka yang mengejar kami saat itu."
"Si sombong itu," gerutu Catallina dengan nada kebencian.
"Apa kau mengenalnya?" tanya Eran, suaranya sedikit lebih keras dari yang diharapkan.
Catallina menoleh tajam pada Eran. "Ssstt ... jangan teriak. Suaramu terlalu keras!" tegur Catallina dengan nada kesal.
"Apa kau mendengar sesuatu?" tanya salah satu prajurit dengan curiga.
"Tidak," jawab prajurit yang satunya lagi dengan ragu.
"Aku tadi seperti mendengar suara orang, dari sana sepertinya," ujar prajurit itu sambil menunjuk ke semak-semak rimbun di mana Catallina dan Eran bersembunyi.
Eran dan Catallina bertahan dalam ketegangan, berharap prajurit-prajurit itu akan segera pergi.
"Benarkah?" pertanyaan prajurit pertama dalam ketegangan hutan yang sunyi.
Dua prajurit yang memandang ke arah semak-semak, tiba-tiba merasakan kehadiran. Mereka bergerak hati-hati mendekati semak-semak, pedang-pedang mereka terhunus.
Eran, dengan mata penuh konsentrasi, berbicara dengan suara perlahan kepada Catallina yang siap dengan busur dan anak panahnya. "Persiapkan dirimu, Cata."
Catallina membalas anggukan, tangannya menarik busur dengan mantap, mata tajamnya mengawasi gerak-gerik prajurit musuh. Mereka merasa getaran ketegangan memenuhi udara, dan pertempuran nampaknya tak bisa dihindari.
Prajurit yang mendeteksi kehadiran mereka memberi isyarat pada rekannya. "Aku yakin, ayo kita kesana," ujarnya, bersiap-siap mengungkap siapa yang bersembunyi di balik semak-semak.
Namun, dengan malas, salah satu prajurit merespons. "Ah, tidak usah. Sepertinya itu hanya perasaanmu, atau mungkin suara kelinci atau hewan lainnya."
Prajurit yang lain berpikir sejenak lalu tak lama mengangguk sembari mengiyakan. "Hmm ... mungkin kau benar."
Dengan perasaan lega, para prajurit itu berbalik dan melanjutkan langkah mereka, semakin jauh memasuki hutan yang rimbun.
Catallina dan Eran berjalan pelan menuju posisi awal mereka, merasa lega bahwa bahaya telah berlalu.
Catallina menghembuskan nafas leganya. "Hah ... syukurlah," tetapi ekspresinya segera berubah tajam saat dia melotot ke arah Eran dan menghantamnya pelan. "Kau bodoh, kita hampir saja ketahuan!" Makian Catallina terdengar tergesa-gesa.
"Aku minta maaf, tapi jika ketahuan pun tak masalah, aku tinggal menghabisi mereka saja," jelas Eran dengan dingin.
"Lihatlah manusia bodoh ini. Kalau kau membunuh mereka, aku yakin para prajurit akan meningkatkan patroli di hutan ini!" Catallina menyatakan kekhawatirannya dengan keras.
"Bukankah itu seharusnya dilarang, hutan ini masuk didalam wilayah Kerajaan Berillan, bukan?" tanya Eran.
Catallina berpikir sejenak. "Kau benar, batas wilayahnya seharusnya di tengah sungai itu, yang dibatasi dengan jembatan, tapi sepertinya mereka bisa saja melanggar karena hutan ini tak memiliki penjaga," jelas Catallina dengan hati-hati.