Taneaya dan Irlof melangkah dengan perlahan memasuki desa Alku, yang selalu ramai dan sibuk sesuai dengan kebiasaan. Taneaya melirik ke samping, menoleh pada Irlof yang berjalan di sebelahnya.
Taneaya bertanya. "Bagaimana latihanmu, Irlof?"
Irlof merasa senang diberi perhatian langsung oleh kaptennya. "Umm ... lancar, tidak ada kendala. Kapten Uldor dan Gorstag sangat baik, jadi kami tidak punya alasan untuk tidak menguasai apa yang mereka ajarkan."
Taneaya terus memerhatikan Irlof. "Kau masih dalam kondisi terbaik?" tanyanya.
Irlof memikirkan sejenak sebelum menjawab. "Saya masih dalam keadaan prima, kapten. Walaupun pemimpin Gorstag sangat menakutkan saat melatih, sempat ada saat-saat di mana saya ingin menyerah, namun akhirnya saya memilih untuk terus maju."
Taneaya mengangguk, mengerti bahwa latihan di bawah Gorstag memang tidak pernah mudah. Namun, dia ingin memberikan dorongan sedikit semangat pada Irlof. "Aku tak heran tentang itu. Namun, ketakutan yang Gorstag berikan tidak sebanding dengan ketakutan yang akan kamu hadapi saat menghadapi musuh di medan perang nanti, jadi penting untuk memperkuat mentalmu, Irlof," jelas Taneaya dengan bijak.
Irlof mendengarkan dengan serius. "Baik, kapten, terima kasih atas nasihat anda," jawabnya dengan tulus.
Mereka melanjutkan perjalanannya ke arah timur desa.
Taneaya dan Irlof berada di lokasi yang nyaman, sebuah area perkemahan terpencil dibandingkan dengan area di luar sana. Taneaya memeriksa sekelilingnya, menilai keadaan sekitar di sisi timur desa.
"Disini lebih nyaman untuk mendirikan perkemahan daripada di depan sana," ujarnya sambil menjelaskan pendapatnya pada Irlof.
Irlof setuju dengan Taneaya. "Benar, kapten, disini lebih teduh dan sedikit lebih tertutup."
Taneaya, sambil memandangi keadaan sekitar, bertanya pada Irlof. "Ngomong-ngomong, seberapa jauh kita harus pergi dari sini?"
Irlof menjawab dengan pasti. "Tidak terlalu jauh, kapten." Dia menunjuk ke arah bukit yang terletak di sebelah kanan mereka.
Mereka kemudian meninggalkan jalan utama dan bergerak ke arah bukit tersebut, memulai pendakian menuju lokasi tujuan mereka.
Taneaya menggerutu, merasa bingung dengan selera Eran yang begitu unik. "Aku tidak mengerti anak itu, mengapa selalu mencari lokasi-lokasi aneh seperti ini!"
Irlof dengan lembut mencoba menjelaskan. "Tuan Eran senang dengan kesendiriannya, kapten."
Taneaya mengangguk, tetapi tetap merasa aneh. "Aku tahu, tapi itu tidak harus selalu di tempat-tempat aneh seperti ini. Dia bisa saja menyendiri di dalam tendanya sendiri."
Irlof mencoba untuk membela Eran. "Mungkin tuan Eran mencari tempat yang benar-benar sunyi, kapten."
Taneaya setuju dengan apa yang Irlof katakan, Eran memang sangat aneh.
Mereka telah mencapai puncak bukit, dan tak terlalu jauh dari tempat mereka berdiri, Taneaya melihat sebuah gubuk yang tampak serba reot berdiri. Tak begitu jauh dari sana, Eran terlihat berbaring dengan kedua tangan yang digunakan sebagai bantal untuk kepalanya.
Bukit ini hanya terdiri dari padang rumput yang tidak terlalu luas dan dihiasi dengan bebatuan kecil yang tersebar di sana-sini.
Taneaya memanggil. "Eran," Saat ia sudah mendekatinya.
Namun, tak ada respons apapun dari lelaki berambut hitam itu.
Taneaya merasa bingung dan melihat ke arah Irlof yang hanya mengangkat kedua bahunya dengan ekspresi yang ragu.
"Dia tertidur," kata Taneaya sambil menggelengkan kepala. Tanpa ragu, dia duduk di samping Eran yang sedang berbaring.