Eran terus menatap Taneaya dengan cemas, menggigil karena memikirkan betapa dinginnya udara di luar. "Kenapa kau keluar dengan pakaian seperti ini!? Di luar sangat dingin," katanya, mencoba mengungkapkan kekhawatirannya.
Taneaya tersenyum dan mencoba memberikan penjelasan yang masuk akal. "Pestanya belum selesai, dan aku yakin akan berlangsung hingga larut malam. Karena itu aku mencari tempat yang sepi, jadi aku ke tempat ini."
Eran masih merasa cemas. "Tapi, kau tahu kan kalau di penginapan desa pasti masih ada kamar yang kosong. Mengapa kau tidak menginap di sana?"
Taneaya tersenyum lagi, kali ini untuk alasan lain. "Aku ingin menghemat uang, Eran. Penginapan memang nyaman, tapi aku tidak ingin menghabiskan terlalu banyak koinku untuk sebuah kamar di penginapan."
Eran mengerti pemikiran Taneaya dan setuju dengan keputusannya. "Baiklah, aku mengerti, berhemat itu bijaksana. Tapi tetap saja, berpakaian seperti itu di tengah udara dingin yang menusuk tulang, berbahaya. Ini malam, berbahaya bagi wanita sepertimu untuk berjalan sendirian," Eran kesal.
"Kenapa kau marah-marah padaku sedari tadi! Apa kau tidak suka kalau aku di sini? Kalau begitu aku akan pergi," ujar Taneaya dengan nada sedikit kesal.
Eran tersentak mendengar kata-kata Taneaya dan mencoba menjelaskan. "Tidak, Taneaya, bukan begitu. Hanya saja ini sudah malam, kau jauh-jauh kesini, mendaki bukit, apa itu masuk akal dilakukan seorang perempuan sepertimu?"
Taneaya masih terlihat sedikit kesal. "Jadi, kau khawatir karena aku seperti anak kecil yang harus dijaga, Eran?"
Eran mencoba meredakan situasi dan tersenyum lembut. "Tidak, tentu saja tidak. Aku tahu kau sangat berani. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."
Taneaya mengerti dan tersenyum, lalu meneguk lagi minumannya. "Aku baru tahu kalau minuman herbal ini sangat baik untuk tubuh. Rasanya sangat hangat di tengah malam yang dingin."
Eran sungguh tak mengerti, kenapa semua wanita yang ia temui selalu cepat marah. Eran tak mau memikirkan itu. "Ya, minuman herbal memang memiliki keajaiban. Aku sendiri yang meraciknya," kata Eran.
"Benarkah?" Taneaya bertanya dengan nada penasaran, matanya mencari tanda-tanda kejujuran pada Eran.
"Aku mendapatkan resep ramuan ini dari seseorang," jawab Eran dengan suara lembut yang terdengar rapuh dalam keheningan malam hari yang menyelimuti mereka. Tatapannya terfokus pada permukaan meja kayu yang terlalu polos, seakan berusaha menghindari kontak mata dengan Taneaya.
Taneaya menggigit bibir bawahnya, menggulung sehelai rambut abu-abunya yang lembut di antara jari-jarinya. Eran mengamatinya dengan seksama, merasa canggung dengan tindakan kecil itu. Udara yang mengalir di sekitar mereka seakan merasakan ketegangan di dalam ruangan.
"Aku cukup terkejut kau menggunakan pedang selama turnamen," kata Taneaya, suaranya terdengar penasaran. Tatapannya kini beralih dari rambutnya yang terselip nenuju Eran, mencari jawaban tak terucapkan di balik ekspresinya.
Eran mengerutkan bibirnya dalam-dalam, mencoba meredakan ketegangan yang tumbuh di dalam dirinya. Kata-kata yang diucapkan Taneaya membawanya kembali ke saat-saat di lapangan tadi.
"Ya, itu ... itu adalah keputusan spontan," kata Eran perlahan, mata cokelatnya menatap Taneaya. Ia merasakan dorongan untuk menjelaskan, meskipun takut terbawa oleh detail yang lebih dalam.
Taneaya mengangguk perlahan, mencoba memahami alasan di balik tindakan Eran. Namun, ada keraguan di matanya, seolah-olah masih ada sesuatu yang belum terungkap. "Aku tidak pernah tahu kalau kau memiliki kemampuan itu."
"Yahh," gumam Eran sambil menghela napas pelan. "Sudah lama sekali aku tidak menggunakannya. Dan secara kebetulan aku ingin mencobanya tadi, jadi tak ada salahnya untuk mencoba."
Taneaya memperhatikan Eran dengan seksama, mencoba merasakan setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Kau cukup mahir menggunakan pedang, sepertinya kau sudah berlatih cukup lama."
Eran merenung sejenak, seakan mencari jawaban di dalam dirinya. "Ah, itu ... mmm ... aku dulu sering berlatih dengan ayahku."
Taneaya merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik jawaban Eran. Ia mendekat, mencoba memahami lebih jauh. "Lalu kenapa kau menggunakan belati dan bukannya pedang sekarang?" Taneaya bertanya dengan nada penasaran.
Eran tersenyum tipis, namun tatapannya berubah serius saat ia mengingat masa lalu yang seakan menjadi bayang-bayang kelam dalam hidupnya. "Hmm ... ceritanya panjang, dan aku rasa itu tak penting untuk menceritakannya." Suaranya sedikit bergetar, mengungkapkan kesedihan yang telah lama ia pendam.
Taneaya merasa ada cerita yang sangat dalam di balik senyum tipis dan jawaban singkat Eran.
Mereka berdua terdiam, merasakan kedekatan mereka yang semakin erat di tengah cahaya bulan yang perlahan-lahan memudar seiring dengan malam yang semakin gelap. Suasana menjadi lebih tenang, meskipun rahasia yang belum terungkap masih menggantung di udara.
Malam semakin dingin, saat itu musim gugur di Berillan, sehingga cuaca menjadi semakin tidak jelas, dengan angin sepoi-sepoi yang berhembus dan dedaunan yang berguguran. Mereka masih duduk bersebelahan di kursi panjang yang tua, dan hati mereka dipenuhi dengan keheningan yang berat.
Eran merasa canggung dalam keheningan ini, matanya melirik ke arah Taneaya, mencari cara untuk memecah keheningan yang menyelimuti mereka. "Kalau kau mau tidur, tidurlah di kasur itu, memang terlihat tua, tapi cukup nyaman," kata Eran dengan suara lembut, mencoba berbasa-basi.