Peperangan dan Ambisi: Buku 2. Emas-Emas Yang Akan Terkikis

Sicksix
Chapter #26

52. Pembentukan Tim Baru

"Aku tahu sekarang, kenapa kau mencari tempat yang sepi," ujar Eran sambil menyipitkan mata, memandang Taneaya dengan rasa mengerti.

Taneaya melototkan matanya sejenak ke arah Eran, kemudian kembali fokus pada makanan di depannya. Walaupun dia berusaha untuk tidak memperdulikan pandangan Eran, rasa malu dan perhatian orang-orang di sekitarnya membuatnya merasa agak tidak nyaman.

Sedari awal, sejak mereka memasuki kedai makanan itu, mereka telah menjadi pusat perhatian. Para pengunjung lainnya mulai berbicara dengan suara berbisik, dan banyak dari mereka terpesona oleh penampilan Taneaya yang cantik dan penuh anggun.

Beberapa orang bahkan berani untuk mencoba mendengarkan percakapan mereka. Beberapa wanita yang ada di sana memandang Taneaya dengan rasa cemburu karena kecantikannya, sementara beberapa pria memandang Eran dengan pandangan yang penuh dengan rasa iri.

"Wajah bangsawanmu memang tak bisa ditutupi, pasti sangat menyebalkan menjadi pusat perhatian," ujar Eran sambil mencoba mencari kata-kata yang mungkin dapat membuat Taneaya merasa lebih tenang.

Taneaya melirik Eran dengan ekspresi campur aduk, seolah-olah ia merasa dihakimi dan merasa kesal pada dirinya sendiri. "Jangan berkata seperti itu, Eran. Aku tidak ingin ada perbedaan di antara kita. Kita ini sama-sama prajurit bayaran," ujar Taneaya dengan suara yang penuh penekanan.

Eran mencoba mengakomodasi perasaan Taneaya, meskipun ia tidak ingin menyakiti perasaan gadis itu. "Baiklah, tuan putri," ujar Eran dengan nada yang sedikit menggoda dengan senyum kecil di wajahnya.

Taneaya melirik Eran dengan tatapan tajam, seakan-akan ingin memperingatkan bahwa ia tak suka. "Jangan mencoba mengolok-olokku, Eran."

"Lihat itu, pasti dia dipaksa menikah dengan pria dekil itu. Mungkin karena orang tuanya terlilit hutang," ujar seorang perempuan dengan nada sedih, mencoba merenungkan kondisi gadis yang menjadi pusat perhatian itu.

"Laki-laki itu terlihat seperti penculik, lihat saja ekspresi gadis malang itu, dia terlihat tertekan," kata seorang pria dengan wajah serius.

"Beruntung sekali laki-laki itu, mereka terlihat seperti seorang gadis bangsawan yang menikahi tukang kebunnya. Dunia sudah gila," ujar seorang pengunjung lainnya, dengan nada keheranan yang terdengar jelas.

Terdengar bisikan-bisikan dan komentar-komentar orang-orang disekitar mereka, yang seakan-akan membentuk dinding suara yang semakin menekan Taneaya. Gadis itu semakin merasa jenuh dan tertekan oleh semua perhatian dan perasaan negatif yang melayang-layang di sekitarnya.

Sementara itu, Eran yang duduk di sampingnya, terlihat tidak bisa menahan tawanya. Ia mendengar komentar-komentar tersebut dan menemukan sindiran dan ketidaksetujuan yang terlalu konyol untuk diabaikan. "Sial ... tukang kebun. Itu lucu sekali," ujar Eran sambil menahan tawanya.

Taneaya menoleh pada Eran dengan ekspresi yang penuh kemarahan dan ketidaksetujuan. "Itu tidak lucu, Eran!" ujarnya dengan suara yang keras dan penuh emosi, mencoba membuat Eran mengerti bahwa situasinya adalah hal yang serius dan sangat meresahkan baginya.

Eran segera menahan tawanya dan mencoba untuk lebih serius. "Maaf, Tane. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu marah. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Taneaya merasa terhibur oleh usaha Eran untuk membuatnya merasa lebih baik. "Aku tahu, Eran. Tapi itu tetap menyebalkan."

Setelah mereka selesai makan, Eran dan Taneaya memutuskan untuk kembali ke camp mereka yang terletak tak jauh dari tempat makan. Sepanjang perjalanan kembalj, Taneaya terlihat murung dan lesu, wajahnya terlihat terganggu dan cemas.

Mereka hampir saja tiba di camp mereka, ketika Eran akhirnya memutuskan untuk mengomentari perubahan suasana hati Taneaya yang begitu mencolok. "Kau terlihat dalam mood yang jelek sekali," ujar Eran, mencoba mencari tahu apa yang mungkin mengganggu Taneaya.

Taneaya menghela nafas dalam-dalam, merasa perlu untuk berbicara tentang perasaannya. "Makan pagiku menjadi tak bergairah, bahkan makanan yang masuk ke perutku terasa seperti bergejolak ingin meledakkan kemarahanku," ujar Taneaya dengan suara yang penuh dengan ketidakpuasan, mencoba menjelaskan betapa buruknya perasaannya saat ini.

"Wah, apakah makanan dari kedai kecil tadi membuat perutmu sakit? Ternyata benar, selera makan seorang putri benar-benar tinggi," ujar Eran dengan nada menggoda, mencoba mengorek perasaan Taneaya.

Taneaya yang mendengar celaan tersebut seketika merasa tersinggung dan marah. "Berhenti menggangguku, Eran!" ujar Taneaya dengan suara yang penuh emosi.

Namun, Eran yang sebenarnya hanya bercanda, melihat reaksi Taneaya yang berlebihan. "Eh, maafkan aku, aku tidak bermaksud mengganggu. Aku hanya berusaha mencairkan suasana," ujar Eran dengan nada lembut, mencoba membela diri, tetapi Taneaya tetap marah.

Tiba-tiba, Taneaya merasa sesuatu yang tidak enak di perutnya. Rasa sakit perut mulai melanda, dan ia mengernyitkan keningnya sambil mencoba meredakan rasa sakit yang semakin parah.

Eran melihat perubahan ekspresi wajah Taneaya dan merasa khawatir. Ia segera mendekat ke arah Taneaya dan bertanya dengan nada yang penuh perhatian, "Ada apa, Tane? Kau kenapa?"

Taneaya terdiam sejenak, merenung sebelum akhirnya berbicara dengan suara yang pelan dan berat. "Kau tahu, Eran, sejak tadi malam, aku telah mencoba keras menahan rasa sakit," jawabnya dengan ekspresi yang tidak nyaman.

Lihat selengkapnya