Peperangan dan Ambisi: Buku 2. Emas-Emas Yang Akan Terkikis

Sicksix
Chapter #32

59. Sebuah Janji

Jenderal Aywin melangkah tegas ke dalam ruang takhta, wajahnya serius ketika melaporkan peristiwa yang baru terjadi di benteng sisi timur. "Yang Mulia, saya menerima laporan bahwa obor di benteng sisi timur terlihat menyala. Situasi di benteng itu dalam bahaya."

King Nolan mendongak dari singgasan takhtanya, mata tajamnya menatap Jenderal Aywin. "Apa maksudmu, Jenderal? Apa yang terjadi di sana?"

Jenderal Aywin menjawab dengan tegas. "Sepertinya mereka sudah mulai bergerak dan benteng timur sudah dikuasai."

King Nolan, yang biasanya tenang, merasakan amarah membara di dalam dirinya. "Benteng itu adalah benteng pertahanan terakhir kita di sisi timur! Apakah ada prajurit benteng yang selamat dan melapor?"

Jenderal Aywin menjelaskan dengan hati-hati, "Ada satu yang melapor pada saya."

King Nolan, yang sulit mengendalikan amarahnya, berkata dengan suara berat. "Kita akan bersiap untuk menyerang. Kumpulkan prajurit terbaik kita dan perintahkan mereka segera menuju benteng sisi timur. Kita harus menumpas ancaman ini sebelum semakin berkembang." King Nolan bangkit dari takhtanya, mata masih memancarkan kemarahan. "Segera kirim pesan kepada seluruh pasukan kita, persiapkan mereka untuk pertempuran. Aku akan memimpin perang ini langsung."

"Baik, yang mulai." jawab Aywin.

"Perintahkan pasukan penjaga istana dan pasukan De Sun untuk mulai bersiap menjaga istana," perintah Nolan.

Jenderal Aywin mengangguk. "Segera, Yang Mulia." Dia melangkah keluar dari ruang takhta, meninggalkan King Nolan yang masih terusik oleh berita tersebut.

"Roderick, jadi ini yang kau rencanakan selama ini. Kau ingin merebut tahtaku!" ujar King Nolan dengan nada yang dipenuhi campuran kemarahan dan kekecewaan, sementara tangannya meremas erat kepalan. Nolan merasa sakit hati karena adik tirinya telah melancarkan pengkhianatan yang menyakitkan, menusuknya dari belakang setelah semua yang telah ia berikan dan percayakan selama ini.

Lalu, tak lama kemudian, Ratu Aralia datang menghampirinya dengan langkah hati-hati, ekspresi wajahnya penuh kekhawatiran semenjak kepergian Nolan beberapa hari yang lalu. Nolan belum sempat menemuinya sejak saat itu.

"Sayangku," sapa Aralia dengan nada penuh kelembutan, mencoba membaca ekspresi Nolan yang penuh perasaan campur aduk. Rasa khawatir yang dalam membayangi wajahnya, terlihat kegelisahan hati seorang ratu yang mencintai suaminya.

Nolan menoleh ke arah Aralia sebentar, memeluknya singkat.

"Maafkan aku, sayangku. Aku belum sempat menemui," ujar Nolan dengan nada yang penuh penyesalan, merasakan beban tanggung jawab sebagai seorang raja. Setelah kata-katanya terucap, ia melepaskan pelukannya dan kembali merundukkan pandangan pada peta yang menjadi fokusnya.

Nolan kembali memusatkan perhatiannya pada peta besar yang tersebar di atas meja. Ekspresi serius melintas di wajahnya, dan matanya menembus garis-garis peta seperti mencari jawaban dalam peta yang terbentang luas itu.

"Tidak apa-apa, aku tahu yang sedang terjadi," ujar Aralia dengan suara yang terdengar kesal dan kecewa, namun tetap terdengar lembut. Aralia merasakan gelombang ketegangan yang melingkupi istana, dan hal itu turut dirasakannya.

Nolan menoleh ke arah istrinya, matanya mencari pemahaman di balik kata-kata Aralia. Terdiam sejenak, ia menelan air liurnya yang terasa pahit. Suasana tegang di ruangan itu terasa seakan tertangkap dalam permainan bayangan yang terpantul oleh lampu redup di dinding istana. Nolan seakan tau apa yang akan istrinya ucapkan.

"Jika kau mengikuti perkataanku dulu, ini tidak akan terjadi," ujar Aralia sambil mendekat ke arah meja, jarinya menunjuk posisi kota Swincerest di atas peta, kemudian mencoret titik itu dengan tanda silang menggunakan ujung kukunya, menciptakan goresan kecil yang mencolok di peta strategis itu.

Nolan merasa bersalah mendengar perkataan itu keluar dari mulut istrinya. Lima tahun yang lalu, mereka berdua mendengar kabar tragis tentang Alania, saudara perempuan Aralia, yang tewas dalam sebuah penyerangan saat mereka dalam perjalanan bersama Roderick, kekasih Alania. Kabar itu menghancurkan hati Nolan dan Aralia.

Aralia, yang selalu melihat kebenaran dengan tajam, merasa marah dan kecewa. Ia meminta Nolan untuk menyelidiki peran Roderick, adik laki-laki Nolan sendiri, dalam kematian Alania. Saat itu, Nolan percaya bahwa Roderick tidak mungkin melakukan perbuatan keji tersebut. Alania adalah kekasih hati Roderick, dan Nolan beranggapan bahwa cinta mereka begitu kuat sehingga tak mungkin Roderick melakukan sesuatu yang bisa merugikan Alania.

Lihat selengkapnya