Peperangan dan Ambisi: Buku 2. Emas-Emas Yang Akan Terkikis

Sicksix
Chapter #33

60. Pertempuran di Padang Slica

Para pemimpin dari kedua belah pihak, yaitu Raja Nolan dan Jenderal Aywin, berada di tengah padang Slica yang luas.

Mereka berdiri di hadapan Roderick, yang duduk di atas kudanya, sementara Arcus berkuda di sampingnya. Di sekitar mereka, terlihat dua pasukan yang menunggu dengan sabar, siap untuk melaksanakan perintah pemimpin mereka.

"Nampaknya kau masih berpikir bahwa aku akan menyerah begitu saja," kata Roderick dengan nada sinis, menyeringai pada Nolan.

Raja Nolan menatap Roderick dengan emosi tertahan yang menyelubungi wajahnya. "Duke Roderick, aku memberimu kesempatan untuk mengakhiri pertumpahan darah ini dengan menghormati kedamaian. Aku akan memastikan hukumanmu tidak seberat yang kau bayangkan."

Roderick tertawa. "Oh, Nolan, kakak tiriku, kau selalu menjadi pemimpin yang idealis. Apakah kau benar-benar berpikir aku akan menyerah begitu saja? Aku memiliki pasukan yang siap untuk melawan, dan aku tidak akan menyerah dari ancamanmu."

Nolan memandang Roderick dengan tajam. "Duke Roderick, apakah kau yakin pasukanmu akan dapat menghadapi pasukan kerajaan? Kami memiliki keunggulan dalam jumlah dan pengalaman."

Roderick tersenyum meremehkan. "Jumlah dan pengalaman tidak selalu menjamin kemenangan. Aku tahu bagaimana memanfaatkan kelemahan musuh. Kau mungkin memiliki pasukan yang kuat, tapi apakah kau yakin mereka bersatu dan setia pada tujuanmu?"

Dengan tatapan tajam yang tidak berubah, Nolan berkata pada Roderick sekali lagi. "Aku akan memberi kesempatan lagi untuk merubah pikiranmu, Duke Roderick," ujar Nolan penuh penekanan, memancarkan otoritas yang tidak bisa dipertanyakan.

Roderick tertawa kecil, cemoohan terdengar dari suaranya. "Kesempatan apa yang kau bicarakan, Raja Nolan? Aku berhak atas mahkotamu itu. Kau hanyalah seorang pemimpin yang lemah dan tidak berdaya. Aku akan merobek takdirmu dan menggantikannya dengan kekuasaanku sendiri."

Jenderal Aywin yang berdiri di samping Raja Nolan, menatap Roderick dengan pandangan tajam yang menusuk. "Kau berani bicara begitu pada raja? Kau telah melampaui batas, Duke Roderick. Jika kau tidak segera menyerah, kau akan melihat kekuatan pasukan kami."

Raja Nolan melangkah maju, wajahnya yang gagah perkasa mencerminkan tekadnya. "Duke Roderick, kami tidak ingin pertumpahan darah ini terjadi. Ambillah perdamaian dan serahkan dirimu. Aku tidak ingin melihat pembantaian terjadi."

Roderick menatap Nolan dengan acuh tak acuh. "Perdamaian? Apakah itu yang kau tawarkan setelah mengambil segalanya dariku? Tidak, Nolan, aku akan melawan, dan aku akan memimpin pasukanku menuju kemenangan. Kau tak bisa menghentikanku."

"Ternyata kau masih tak terima, Roderick. Aku salah, seharusnya sudah sedari dulu aku membunuhmu, atas kematian adik iparku, Alania!" ujar Nolan dengan suara yang sarat penekanan, kekesalan yang terpendam sejak lama akhirnya terlontar.

"Beraninya kau memanggil namanya! Jangan sekali-kali memanggil namanya dihadapanku! Kau tak pantas!" ujar Roderick, membakar dendamnya dengan sorot mata yang penuh kebencian.

"Jaga ucapanmu, Duke Roderick!" tegur Aywin tegas, berusaha menenangkan ketegangan yang terasa semakin menebal.

Roderick mengangkat alisnya dengan angkuh. "Apakah kau hendak mengancamku, Jenderal Aywin? Percayalah, aku memiliki pasukan yang setia padaku dengan lebih banyak kekuatan daripada yang bisa kamu bayangkan. Perang ini hanya akan berakhir dengan kematian kalian."

Raja Nolan, dengan senyuman, mengedipkan mata dengan tenang. "Kau dapat mencobanya, Duke Roderick. Namun, ingatlah bahwa permainan tahta ini bukanlah hal yang mudah. Kau akan merasakan balasan yang setimpal atas pengkhianatanmu."

Roderick tertawa dengan sinis. "Kau, tak mengerti kekuasaan sejati. Aku tak akan mundur. Aku akan menunjukkan bahwa aku lebih layak duduk di takhta itu."

Nolan kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih dingin. "Perang ini akan menentukan akhir dari segalanya, Roderick. Kau akan menghadapi konsekuensi atas tindakanmu, apapun itu."

Roderick hanya tersenyum penuh keyakinan. "Kita akan melihat, Nolan. Siapa yang menang, dan siapa yang jatuh."

Seketika itu, mereka kembali pada pasukan mereka masing-masing. Tidak ada yang bisa dicapai dari negosiasi yang baru saja berlangsung.

Raja Nolan, mendekat dalam senyum penuh kharisma, menghampiri barisan pasukannya yang tampak siap tempur. Ia berdiri di depan mereka, mahkotanya yang berkilauan memberikan aura kekuasaan. Suara lantangnya memenuhi udara, menggugah semangat dan keberanian dalam diri prajurit-prajuritnya.

"Prajuritku!" seru Raja Nolan dengan suara yang membangkitkan semangat. "Kita berdiri di sini, bersama-sama, untuk mempertahankan kehormatan dan kedamaian kerajaan kita. Musuh kita ingin merebut mahkota dan menghancurkan segala apa yang telah kita bangun dengan susah payah. Tapi kita tidak akan membiarkannya terjadi! Bersatulah, hadapi mereka dengan keberanian dan kekuatan kita!"

Prajurit-prajurit Raja Nolan bersorak, mengibarkan panji-panji kerajaan, dan mengangkat senjata mereka, merespons seruan Raja Nolan dengan semangat yang berkobar. Mereka siap melangkah ke medan perang untuk menjaga kerajaan.

Di sisi lain padang Slica, Roderick berjalan dengan mantap menuju pasukannya yang berdiri kokoh, menantikan arahan dan semangat pemimpin mereka. Dalam keangkuhan dan ketidaksabaran, ia memandang wajah-wajah pemberontak yang bersedia mengikuti setiap kata perintahnya.

"Pemberontak yang berani!" teriak Roderick dengan keras, suaranya melintas di antara deru angin. "Waktu untuk merebut takdir kita sendiri telah tiba! Raja bodoh dan kekuasaannya yang lemah itu sebentar lagi akan berakhir di sini. Kita adalah para pahlawan yang akan mengambil alih mahkota dan membawa kejayaan baru bagi kerajaan ini. Bersiaplah, serang mereka dengan keberanian dan tanpa belas kasihan!"

Pasukan pemberontak, yang sudah tergerak oleh ambisi mereka sendiri, memperlihatkan semangat yang membara. Mereka mengangguk, menjawab Roderick dengan suara lantang yang penuh tekad. "Untuk kebebasan! Untuk kemenangan!" seru salah satu panglima pemberontak, menggugah semangat prajurit-prajuritnya.

Suara-dua pemimpin yang lantang tersebut memenuhi angkasa, menggugah semangat prajurit di seberang medan perang. Kedua pasukan berdiri tegak, siap untuk menuangkan darah dan pengorbanan mereka demi tujuan yang mereka percayai. Perang akan segera dimulai, dan pertempuran akan memutuskan takdir kerajaan.

Ketika keduanya berada di puncak semangatnya, Raja Nolan mengangkat tinggi pedangnya, mata penuh determinasi, lalu menunjuk ke arah pasukan musuh. Suaranya berderap terdengar dengan jelas di antara kegemaan perang yang akan meletus.

"Serang! Demi darah Golden kita yang suci!" teriak Raja Nolan dengan suara menggelegar. Pasukan di belakangnya berkobar-kobar, bergerak maju dengan semangat yang membara.

Tidak tinggal diam, Duke Roderick langsung mengepal tangan dan berteriak lantang, meninggikan semangat pasukan pemberontak. Suaranya melengking menantang Raja Nolan.

Lihat selengkapnya