Rumah-rumah tertutup rapat, seperti kuburan yang diliputi bayang-bayang ketakutan. Tak satu pun warga yang berani melangkah keluar dari kediaman mereka, terpaku dalam keterkejutan dan rasa takut. Suasana hening terus berlanjut, terputus hanya oleh dentingan lonceng bahaya yang bergema keras, menyuarakan ancaman yang tidak terucapkan namun dirasakan oleh semua.
Tumpukan kayu menara tertinggi, yang biasanya menjadi penanda keamanan dan ketenangan, sekarang terbakar dengan jelas. Nyala api yang membara menari-nari di langit malam, menjadi lambang bahwa istana, pusat kekuasaan dan keamanan, tengah berada dalam keadaan darurat.
Obor besar yang menjulang tinggi itu tak hanya menerangi kegelapan malam, tapi juga menjadi isyarat bahaya yang dapat terlihat dari berbagai sudut wilayah Kerajaan Berillan. Dari sudut timur laut Kota Swincerest, hingga sudut timur Kota Blanchill, dan melipir ke selatan Kota IronClaw, serta merambah ke kota-kota dan desa-desa terpencil lainnya.
Wilayah istana terguncang oleh kekacauan, dan serangan yang tiba-tiba telah menjadi kenyataan, membenamkan kerajaan dalam ketidakpastian. Kekhawatiran Raja, yang beberapa hari lalu terlintas seperti bayangan kelam, kini menjadi kenyataan yang harus dihadapi. Beberapa menit yang lalu, suasana tiba-tiba berubah drastis.
Gerbang kota bagian barat dan timur, yang biasanya mengukuhkan batas keamanan, dengan tiba-tiba terbuka lebar seperti mulut rakasa yang lapar akan pertumpahan darah. Itu adalah momen yang memilukan, sebuah serangan mendadak yang membuat ketegangan terusik dan kecemasan merayap di setiap sudut kerajaan.
Namun mereka bersyukur dengan adanya Kain. Sesuai pemikirannya tadi, dia mengusulkan untuk menjaga tiga gerbang utama untuk menjaga-jaga kemungkinan terburuk, dan benar saja itu terjadi sesuai perkiraan pria pendek nerambut ikal itu.
Aldrich menatap dengan tajam ke arah barisan pasukan misterius yang muncul tiba-tiba di depan gerbang bagian timur. Dalam kerumunan, Aldrich menoleh pada Theo yang setia berdiri di sisinya, mencari jawaban atas pertanyaan yang terasa terlalu besar untuk dijawab sendiri.
"Siapa mereka?" Aldrich berseru. Dibelakang mereka, puluhan prajurit penjaga istana tegang menunggu perintah, mata mereka penuh ketidakpastian.
Theo, yang selalu terlihat tenang di tengah kekacauan, mengangguk penuh serius. "Mereka assassin, hati-hati!" Theo merinci informasi, suaranya bergetar dalam nada peringatan. Dia merapatkan jubahnya, menarik keluar rapier-nya dengan keahlian yang hanya dimiliki oleh seorang yang terlatih dengan baik.
Di hadapan mereka, barisan misterius itu semakin jelas terlihat. Puluhan pasukan berbalut leather armor hitam dengan jubah berwarna merah tua melapisinya. Wajah mereka tersembunyi di balik kain penutup setengah muka, meninggalkan hanya sebagian kecil dari identitas mereka terungkap. Kedua tangan mereka saling berpegangan erat pada blade misterius, mata tajam yang menatap tanpa ekspresi. Keberadaan mereka membawa aura kegelapan yang menyebar di udara.
Aldrich menatap ke arah pasukan itu, mengerti bahwa ini bukanlah pertempuran biasa. Dia berteriak memberi semangat pada pasukan dibelkangnya. "Fokus! Mereka sangat cepat!"
Theo menambahkan sambil matanya tetap fokus memilah setiap gerakan di antara pasukan musuh. "Kita harus tetap waspada. Assassin tidak akan memberi kita kesempatan untuk bernafas."
Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Theo merasakan kehadiran seseorang di depannya. Sebuah bayangan dengan pedang tajam mengarah langsung ke perutnya. Insting bertahan hidup Theo memandu langkahnya, melibas tubuhnya ke samping. Pedang musuh meluncur di udara, menyisakan hawa dingin yang merambat di sekitarnya. Dengan mudah Theo menangkis, lalu Assassin itu pun mundur kembali dengan cepat kembali pada pasukannya.
Maju dengan gesit, Aldrich memimpin pasukannya yang berusaha menghadapi pasukan assassin yang muncul dengan tiba-tiba. "Siapkan shield dan isi anak panah kalian!" pintanya, suaranya bersatu dengan derap langkah mereka yang mengejar waktu. Langkah-langkah prajurit istana memecahkan keheningan malam, diikuti oleh langkah ringan dan hening dari pasukan assassin yang juga berlari maju.
Benturan pertama terjadi, sebuah pertemuan dua dunia yang berbeda terasa di setiap hentakan kaki mereka. Pasukan istana mengangkat tangan kiri mereka, menyusun perisai mereka, sementara tangan kanan mereka membawa panah yang siap membalas serangan. Sedangkan pasukan assassin, dengan gerakan yang hampir tidak terlihat, meluncur menuju musuh dengan serangan yang cepat.
Assassin menyasar bagian vital lawan mereka, mengutamakan efektivitas dalam setiap serangannya. Meskipun serangan mereka terasa seperti pukulan kilat, namun tidak melukai terlalu dalam. Mereka tidak terjebak dalam serangkaian perkelahian panjang, melainkan memilih mengakhiri pertarungan secepat mungkin dengan membidik titik-titik krusial.
Namun, pasukan istana yang terlatih dengan baik menunjukkan keunggulan mereka. Dengan perisai melindungi bagian vital mereka, mereka mampu menahan serangan-serangan mematikan tersebut. Setiap gerakan prajurit istana seolah menyatu dengan tarian kematian, mengimbangi kecepatan dan kekuatan pasukan assassin.