"Ibu, berikanlah kepercayaan pada ayah. Aku yakin dia pasti akan kembali dengan selamat," bisik Catallina dengan suara lembut, sementara tangannya mencoba memberikan kehangatan pada ibunya yang gemetar.
Ruangan rapat yang sempit itu menjadi saksi dari kecemasan mereka. Meja bundar di tengah ruangan tampak seakan menyimpan rahasia perbincangan-perbincangan yang tak terhitung jumlahnya. Barisan kursi mengelilingi meja itu, seakan memberikan kesan bahwa setiap kursi menyimpan kisah dan keputusan yang saling beradu.
Catallina dan ibunya, Aralia, duduk di salah satu kursi, terisolasi dalam dunianya sendiri, menunggu dengan harapan yang tertahan dan ketakutan yang merayap pelan. Aralia, sang, mencoba mempertahankan wibawanya meski kekhawatiran meloncat-loncat di matanya.
Mata Catallina, dengan tatapan bijak, mencoba membaca kegelisahan yang melintas di wajah sang ibu. "Ibu tenanglah, ayah pasti akan kembali," ujar Catallina mencoba menenangkan hati ibunya. Tangan kecilnya merengkuh erat tangan ibunya yang gemetar, memberikan kehangatan dalam momen yang tegang.
Aralia menoleh ke arah Catallina, wajahnya mencoba menyiratkan kepercayaan meski khawatir tetap tergambar di matanya. "Aku percaya, aku hanya khawatir saja, sayang," ujar Aralia dengan suara yang mencoba terdengar yakin, sambil lembut mengelus rambut anak perempuannya. Genggaman tangan Catallina semakin erat, seakan menjadi penopang kuat bagi Aralia yang tengah dihadapkan pada ketidakpastian.
"Ayah membawa pasukan yang cukup besar, jadi aku yakin mereka akan menang," ucap Catallina dengan suara optimis. Namun, meski berusaha bersikap yakin, ekspresi wajahnya juga tak sepenuhnya terbebas dari kecemasan.
"Serangan!" terdengar teriakan dari luar ruangan itu, memotong percakapan mereka. Aralia dan Catallina saling memandang tegang, mata mereka bertemu. Serpihan kekhawatiran melintas di antara pandangan mereka.
Tak ingin menunggu lebih lama, Catallina segera bangkit dari kursi, tubuhnya siap bergerak. "Aku akan melihat apa yang terjadi," ucapnya dengan mantap. "Tunggu di sini, ibu," pinta Catallina sambil meraih panah yang terletak di atas meja, senjata yang menjadi sahabat setianya.
Keluar dari ruangan rapat. "Dimana penyerangnya?" tanya Catallina dengan suara tegang, mencoba mencari informasi.
Salah satu penjaga istana, memberikan jawaban. "Bukan di dalam istana, my lady. Tetapi lihatlah itu," jelasnya sambil menunjuk ke arah luar jendela.
Catallina bergegas mendekati jendela, pandangannya terfokus pada lima sosok misterius berjubah merah yang sedang menyerang pasukan Taneaya di luar gerbang istana. Wajahnya menunjukkan ketegangan, karena melihat pasukan sahabatnya dalam situasi yang begitu rawan.
"Mereka terlihat kuat, Kapten. Apa kita tidak membantu?" tanya salah satu prajuritnya yang tegang.
Catallina menatap prajurit-prajuritnya dengan ekspresi bimbang dan gusar. Kekhawatirannya terhadap nasib Taneaya melibatkan pertarungan di luar gerbang istana, namun sejalan dengan tanggung jawabnya untuk menjaga keamanan istana, yang bisa terancam jika kemungkinan terburuk benar-benar terjadi. "Kita tetap di sini, apakah penjagaan di lantai bawah masih dalam posisi?" tanya Catallina dengan suara hati-hati.
Penjaga istana segera melaporkan dengan jelas. "Mereka masih dalam posisi, tuan Putri."
"Bagus, tetap waspada," jawab Catallina sambil berbalik menuju jendela untuk sekali lagi memantau pertempuran yang tengah berlangsung antara pasukan Taneaya dan penyerang misterius.
Namun, ketika suara pertempuran masih memenuhi udara, satu suara memecah keheningan. "Ada yang aneh, Kapten," ujar salah satu prajuritnya, suaranya penuh dengan rasa curiga yang tak dapat diabaikan.
Catallina menolehkan kepalanya, memberikan perhatian penuh pada prajurit yang memberikan laporan tersebut. "Aneh? Apa maksudmu?" tanya Catallina.
"Begini, Kapten," jelas prajuritnya, mencoba menjelaskan dengan hati-hati, "jika mereka benar-benar ingin melakukan pemberontakan, kenapa jumlah mereka hanya sedikit? Melihat situasi, seharusnya mereka mengirim pasukan lebih besar untuk memastikan keberhasilan. Namun, faktanya, mereka hanya menyerang dari gerbang sisi timur dan sisi barat dengan pasukan assassin yang jumlahnya sangat sedikit."
Catallina mengernyitkan dahinya, memikirkan informasi yang baru saja disampaikan. "Benar, apa yang kalian katakan logis. Namun, apa motif di balik tindakan ini? Jika mereka memang prajurit pemberontakan, seharusnya mereka menyadari bahwa mereka akan menghadapi pasukan penjaga istana dan Band de Sun, yang notabene jauh lebih banyak," ujarnya, suara Catallina penuh pertimbangan.
"Lihat, Kapten! Mereka berlima berhasil membuat prajurit dan Kapten Taneaya kewalahan," pekik salah satu prajuritnya dengan nada kekhawatiran yang mencuat. Segera, Catallina kembali melihat dari jendela, matanya menyusuri adegan pertempuran di luar yang semakin rumit dan tak terduga.
Ketika pandangan Catallina kembali tertuju pada pertempuran di gerbang istana, ekspresi wajahnya semakin gelisah. Dia merasa bingung, kebingungan yang meliputi dirinya seperti kabut yang mengaburkan setiap langkah yang mungkin diambil. Kewajiban untuk menjaga istana bertabrakan dengan keinginan untuk memberikan pertolongan kepada Taneaya dan pasukannya di luar sana.
Sementara itu, di gerbang istana, Taneaya dan para pasukannya terlihat kewalahan menghadapi lima sosok misterius yang menjadi lawan tak terduga.Meskipun dalam situasi yang sulit, Taneaya mempertahankan semangatnya, teriakannya memotivasi pasukannya yang mulai terlihat ragu.
"Tetap fokus! Jangan sampai lengah! Kita lebih banyak!" teriak Taneaya dengan penuh semangat, mencoba memberikan dorongan pada pasukannya yang mulai tertekan oleh serangan lawan yang gesit.
Empat orang misterius itu, seolah menjadi penari yang lincah di atas panggung pertempuran, menyerang para pasukan dengan gerakan yang efektif dan terkoordinasi. Mereka dengan lihai melepaskan diri dari kepungan prajurit. Ketenangan mereka di tengah kekacauan memberikan kesan bahwa ini bukanlah pertempuran pertama bagi mereka; mereka telah melalui banyak medan perang sebelumnya, dan pengalaman itu tercermin jelas.
Tidak hanya pasukannya saja yang berada dalam situasi kritis, Taneaya sendiri terlihat kewalahan menghadapi lawan di hadapannya. Taneaya, dengan sikap yang tak pernah menunjukkan ketakutan, terlibat dalam duel sengit dengan salah satu dari kelompok misterius ini, yang jelas terlihat sebagai pemimpin kelompok itu. "Kau kuat!" ujar Taneaya dengan penuh penghargaan, mencoba memberikan apresiasi pada keahlian lawannya, namun laki-laki misterius itu hanya diam, tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Pertempuran berlanjut dengan saling balas serangan, intensitasnya menjadi semakin cepat. Senjata yang digunakan oleh lelaki misterius tersebut juga terlihat identik dengan milik Taneaya, yaitu dua pedang kecil. Taneaya menari dengan dua pedangnya, memperlihatkan kelincahan yang atraktif yang sempat mempersulit lelaki itu. Meskipun begitu, tetap saja setiap kombinasi serangan yang dilemparkannya dapat dengan cepat diantisipasi dan dipatahkan oleh lawannya.