Peperangan dan Ambisi: Buku 3. Angin Yang Ternoda Dari Barat

Sicksix
Chapter #2

64. Keyakinan

Melihat pertengkaran antara Dignus dan Enid semakin memanas, Raja Franc mencoba menengahi mereka.

Raja Franc mendekat ke arah mereka dengan langkah tegas, mencoba meredakan ketegangan yang tercipta. Enid, dengan ekspresi kesal, melepas cengkramannya pada rambut Dignus. "Cukup! Sudah saatnya kalian berhenti dengan pertengkaran ini. Kita adalah keluarga dan kita harus saling mendukung, bukannya mengolok-olok dan merendahkan satu sama lain."

Dignus dan Enid menoleh ke arah ayah mereka dengan tatapan yang berbeda. Dignus menunjukkan rasa takutnya, sementara Enid terlihat sangat marah dan tak suka.

Raja Franc, terlihat masih terkejut dengan kejadian ini. "Ini hanya latihan bertanding, untuk saling mengukur kekuatan masing-masing, jadi tak seharusnya sampai terjadi seperti ini." Franc mencoba menenangkan kedua anaknya, tetapi suasana hati kedua putranya masih tegang.

"Tapi ayah, aku hanya ingin mengajarkannya agar Dignus tidak menjadi lemah, itu saja," ujar Enid memberi pembelaan dengan rasa tak bersalah.

Franc merubah ekspresi wajahnya menjadi serius. "Perlakuanmu terhadap Dignus terlalu keras, Enid. Sudah kubilang untuk mengurangi kekuatanmu. Dan apa yang kau lakukan pada Dignus terlalu keras, dia masih 9 tahun." Suaranya tenang, tetapi terdengar otoritasnya sebagai seorang ayah dan seorang raja.

Dignus, dengan raut kesal yang masih terpancar di wajahnya, mengepalkan jemarinya. "Kenapa semua selalu membela Dignus!"

Jendral Saul, yang selama ini berdiri di samping Raja Franc, terlihat bereaksi melihat sikap Enid. "Jaga nada bicaramu, Pangeran Enid," tegurnya tegas.

Enid, dengan wajah rasa kesal yang semakin bertambah, menatap tajam pada Jendral Saul, lalu melihat adiknya dengan pandangan penuh penghinaan. Tanpa berkata banyak, ia melangkah pergi, memanggil penjaganya . "Sir Tristan, ayo kita pergi dari sini!" teriaknya.

Jendral Saul melirik Franc, menunggu petunjuk atau perintah lebih lanjut. Raja Franc, dengan sikap bijaknya, mengangkat tangannya dengan tenang untuk menandai bahwa situasi ini dapat diabaikan dan tidak perlu dikejar lebih lanjut. Ia ingin menghindari pertikaian yang lebih besar di antara putra-putranya.

Lalu Franc mendekati Dignus yang tampak menunduk sedih dan lemah, merangkulnya. Ia pun membantu anak keduanya itu berdiri, lalu melirik ke arah Jendral Saul dengan ekspresi serius. "Saul, panggilkan tabib," perintahnya dengan suara yang penuh otoritas.

Jendral Saul mengangguk patuh, lalu segera bergegas pergi untuk memenuhi perintah raja.

"Aku tidak apa-apa ayah, yang dikatakan Enid benar, aku tak mempermasalahkan itu semua," jelas Dignus sambil mengernyit menahan sakit, tetapi mencoba tersenyum untuk menenangkan hati ayahnya.

"Dignus, anakku," kata Raja Franc dengan lembut, "aku tahu pertentangan antaramu dan Enid membuatmu merasa terpuruk. Tetapi aku percaya pada kekuatanmu. Kau harus kuat, tunjukan padanya dan semua orang."

Dignus, dengan suara yang penuh kerendahan hati, menyampaikan perasaannya. "Ayah, aku memang masih lemah. Saat Enid berumur 9 tahun, dia bahkan lebih hebat dariku. Jadi mungkin wajar dia kecewa, aku juga sadar jika aku merasa kecil di hadapannya."

Raja Franc mengusap lembut pundak Dignus, menatap hangat pada anaknya. "Kau bukanlah orang yang lemah, Dignus. Kau terlalu menganggap remeh dirimu sendiri. Cobalah untuk memfokuskan energimu pada pikiran yang positif. Bangkitlah dari bayang-bayang, dan jadilah dirimu sendiri," ujar Franc memberi semangat, matanya penuh dengan harapan.

"Baiklah ayah, aku pamit," ujar Dignus dengan sikap hormat, sambil membungkukan badannya pada ayahnya sebelum meninggalkan tempat itu.

"Tunggu sampai tabib datang," pinta ayahnya.

Namun Dignus menggeleng, dan melanjutkan langkahnya. Dignus terlihat lesu, memikirkan semua perkataan dan nasihat bijak yang baru saja diterimanya dari sang ayah.

***

Ratu Caseyana dengan lembut menimang Dorian dalam dekapannya, merasakan kenyamanan hadirnya sang putra di pangkuannya. Sementara itu, pandangannya terhenti sejenak pada Feliyana dan Taneaya yang riang bermain di dekatnya, sibuk memetik bunga-bunga cantik dari taman istana. Sebuah senyum hangat mengembang di wajahnya, melihat keceriaan kedua putri muda itu.

"Mereka begitu indah, dua hati muda yang bermain dengan riang," ujar Ratu Caseyana dengan nada penuh kasih dan harap. "Aku jadi tak ingin melihat mereka tumbuh besar."

Lihat selengkapnya