"Hahhhh ... akhirnya," ujar Dignus sambil meluruskan badannya di kursi yang telah membenamkan dirinya sepanjang hari. Seharian ini dihabiskannya membaca buku-buku kuno, sembari ditemani oleh guru kerajaan, Sir Ullos, di ruangan megah yang dipenuhi oleh aroma harum kayu.
"Ingat Dignus, besok kita akan melanjutkannya lagi," ujar Sir Ullos, mengingatkannya dengan nada bijaksana dari kursi seberang meja.
Dengan penuh hormat, Dignus mengangguk. Ia melangkahkan kakinya keluar dari ruangan yang dipenuhi oleh buku-buku itu. Dia menuruni tangga yang kokoh. Letak ruangan ini berada di Tower of Enlightment, disudut bagian kanan komplek istana, menjulang tinggi sebagai simbol kebijaksanaan dan pengetahuan.
Setiap lantai dalam Tower Enlightment memiliki fungsi masing-masing. Mulai dari Tempat Pengkajian yang menyelidiki rahasia alam semesta, ruang penelitian yang menjadi tempat eksperimen para ahli kerajaan, perpustakaan yang menyimpan kekayaan ilmu pengetahuan, hingga ruang belajar dan pertemuan untuk bertukar pikiran. Sir Ullos, dengan segala pengetahuannya, kini menjadi pengelola utama tower ini, memimpin dengan bijak dalam menyebarkan cahaya pengetahuan kepada para keturunan Heirs of de Wind.
Diumur 11 tahun ini, Dignus harus mengemban ilmu aritmatika, geometri, logika, sejarah, dan literatur, suatu tugas berat yang biasanya diperoleh ketika mencapai usia 15 tahun. Namun, sebagai keturunan langsung Raja dan darah murni Heirs of de Wind, dia mendapatkan pengecualian yang mengharuskannya menanggung tanggung jawab besar tersebut lebih awal.
Saat pertama kali memasuki ruang belajar di tower ini, Dignus sering kali merasa kewalahan dan hampir menyerah. Keinginan untuk melampaui prestasi kakaknya, Enid, membangkitkan semangatnya.
"Hei, kau pangeran manja," ujar salah satu anak laki-laki berumur sekitar 14 tahun, yang terlihat bersandar dengan santai di tangga paling bawah bersama tiga temannya. Mereka melihat Dignus dengan tatapan meremehkan.
Dignus melirik ke bawah dengan pandangan datar, wajahnya tenang. "Ada apa Markus?" tanya Dignus.
Markus terlihat tersenyum melihat ekspresi datar dari Dignus. "Ikuti kami, kau ditunggu Enid," jelas Markus dengan nada yang lebih berat.
Dignus, meskipun mengetahui bahwa ini mungkin akan menjadi pertemuan yang tidak menyenangkan, hanya bisa menghela nafasnya panjang. Dia merasakan tekanan di dadanya, tetapi dia sadar bahwa mengelak tidak akan membawa kebaikan. Tanpa ragu, Dignus mengikuti empat orang di depannya yang terus menggerutu dan menghinanya.
Perjalanan menuju tempat pertemuan itu dipenuhi dengan keheningan. Dignus mencoba mempersiapkan diri secara mental untuk apa yang akan datang, meskipun hatinya merasakan kekhawatiran akan pertemuan dengan Enid, kakaknya yang selalu menunjukkan sikap merendahkan.
"Dasar anak manja!" ucap salah satu anak laki-laki dengan nada yang merendahkan, berdiri di depan Dignus sambil menyilangkan tangannya dengan ekspresi serius.
"Kau mengatakan sesuatu, Fendo?" ujar Dignus dengan suara yang tak suka, dia sangat kesal dengan celaan yang dilemparkan kepadanya.
Tiga temannya, berhenti lalu dengan cepat menoleh ke belakang. Pandangan mereka penuh dengan kebencian yang terpancar jelas. Mereka adalah kumpulan anak-anak keturunan campuran dari keluarga Wind, selalu bersama Enid. Dalam pikiran Dignus, mereka hanya dianggap sebagai penjilat Enid, pengikut setia kakaknya yang selalu menyertainya ke mana pun. Dasar penjilat Enid. Begitulah yang selalu Dignus sematkan pada mereka bertiga. Terkecuali, Markus.
"Kau tak suka? Hah!?" ujar Fendo dengan nada mengeras, langkahnya mendekat ke arah Dignus dengan sikap yang provokatif.
"Seharusnya kau, bukan ... maksudku kalian, seharusnya kalian tau diri dari mana kalian berasal!" ujar Dignus dengan suara yang tak kalah keras, menegaskan pandangan dan sikapnya terhadap keturunan campuran. Dalam kalimatnya terdapat kebanggaan akan keturunan murni.