Peperangan dan Ambisi: Buku 3. Angin Yang Ternoda Dari Barat

Sicksix
Chapter #5

67. Makan Malam

Ruang makan istana terhias megah. Obor-obor didalam kotak besi yang tergantung di langit-langit ruangan menerangi setiap sudut dengan cahaya lembut, terasa nyaman. Meja makan, yang terbuat dari kayu mahoni tinggi, melebar di tengah ruangan, dikelilingi oleh kursi-kursi mewah dengan sandaran lembut disetiap punggungnya.

Di atas meja makan terdapat piring-piring perunggu berwarna abu-abu yang dipenuhi dengan hidangan yang mewah. Ada sup ayam dengan aroma rempah yang sedap. Daging panggang yang masih segar dengan saus merah yang menyala, terlihat sangat menggiurkan. Sayuran hijau dan tumpukan buah juga ikut melengkapi deretan menu makanan saat itu. Tidak lupa, yang paling penting, di sisi meja terdapat deretan cawan berisi anggur dan minuman segar.

Raja duduk dengan gagah di ujung meja, mengenakan pakaian kerajaan yang megah, sedangkan Ratu, mengenakan gaun sutra putih indah dengan jubah penuh motif bunga sebagai penuputnya, duduk di sebelahnya dengan senyuman hangat di wajahnya. Keduanya terlihat seperti pasangan yang saling mencintai, menikmati kebersamaan mereka di ruangan itu.

Di sebelah Raja, ada Enid, yang tampak tegas dan penuh keangkuhan, dan kepercayaan diri yang tinggi. Di sebelah Enid, ada Feliyana, dia terlihat sibuk membantu adik terkecilnya Dorian untuk makan di atas pangkuannya.

Sementara itu, di sisi lain meja, Taneaya duduk bersebelahan dengan Dignus yang terlihat memasang ekspresi serius. Kedua saudara ini terlihat saling menyelami pikiran mereka masing-masing.

Dignus sedari tadi terlihat hanya mengaduk-aduk sendok dan garpunya dengan pikirannya yang jauh. Meskipun hidangan di hadapannya terlihat lezat, namun fokusnya terpecah oleh berbagai pikiran yang merayap dalam benaknya. Bukan karena masakannya tidak enak, namun karena suasana hatinya yang sedang buruk, dipenuhi dengan ketegangan yang tidak bisa dihindari.

Sore tadi, Dignus mendapat kabar yang sebenarnya sangat tidak diinginkannya: dia diminta menghadiri perjamuan makan malam bersama ayah dan kelima saudaranya. Dignus tidak pernah menyukai momen seperti ini. Pertemuan keluarga kerajaan selalu membawa beban yang sulit diukur bagi Dignus, terutama karena kehadiran Enid.

Dia ingin menolak, tapi tidak bisa, karena ini adalah permintaan langsung dari ayahnya, sang raja. Seperti yang Dignus bayangkan, nafsu makannya seketika hilang saat melihat Enid duduk di seberang meja, memberikan tekanan psikologis yang sulit ia atasi.

Keberadaan Enid membuat Dignus sangat muak, tidak hanya fisiknya yang menjadi penyebab, tapi juga sikapnya, tingkah lakunya, ekspresinya—semuanya menyulitkan Dignus untuk menikmati hidangan di meja tersebut. Hening, suasana makan malam itu menjadi tegang.

Enid, memutus keheningan dengan sebuah pertanyaan. "Ada apa memanggil kami semua untuk makan malam bersama seperti ini? Apakah ada sesuatu yang penting?"

Raja, setelah melirik Enid sekilas, kembali memusatkan perhatiannya pada potongan daging yang terhampar di depannya. "Tidak ada yang penting, anakku," seraya menikmati setiap gigitan daging panggang yang meleleh di mulutnya. Setelah menelan, Raja melanjutkan, "aku hanya merindukan suasana makan bersama seperti ini, dengan seluruh keluarga lengkap di sekeliling meja. Selama ini, ayahmu hanya makan bersama ibu dan Dorian saja. Seiring berjalannya waktu aku merasa ada yang kurang."

Enid, dengan nada santai, melepaskan tawa kecilnya "Jadi kau memanggil kami semua karena merindukan kegaduhan kami, ya?"

Raja, sambil mengangguk pelan. "Saat kalian kecil, ayah disibukkan dengan urusan kerajaan dan kekaisaran, sehingga tidak banyak waktu untuk kalian. Seiring bertambahnya usiaku, aku sangat merindukan kalian berada di sekitar." Franc berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresapi momen, lalu melanjutkan, "selama ini aku hanya mendengarkan cerita kalian dari ibumu. Namun hari ini, hatiku terasa hangat dan ruang ini terasa hidup."

Feliyana, yang dikenal memiliki hati yang lembut, ikut mengungkapkan isi hatinya. "Ayah, aku juga merindukan momen-momen ini. Namun, seiring berjalannya waktu, kesibukan dan tugas kita membuat kita terpisah. Itu membuat kita sulit berkumpul seperti ini."

Caseyana menjawab dengan lembut. "Ayah dan Ibu mengerti, kalian sudah tumbuh dengan baik, kalian juga sudah bekerja keras dengan tugas kalian masing-masing. Namun, kami bersyukur hari ini kalian bisa meluangkan waktu untuk ayah dan ibu."

Franc pun menoleh pada Taneaya, matanya penuh dengan kekaguman pada anak gadisnya itu. "Tane, kau tumbuh cantik. Aku mendengar kau menjadi murid terbaik di pelatihan pedang?"

Taneaya tersenyum lembut dengan sedikit malu-malu. "Ah, kau terlalu memujiku berlebihan, Ayah," ujarnya tersipu.

Lalu Franc beralih pertanyaan pada Feliyana, "Feliyana, kau juga semakin anggun. Pantas saja banyak pejabat dan bahkan para pewaris dari kerajaan lain meminta untuk meminangmu," ujar Franc kagum.

"Aku belum memikirkan itu, Ayah. Sekarang, aku sedang fokus membantu administrasi di kota Turlaiv," jawab Feliyana.

Lihat selengkapnya