Setelah kepergian ibunya, Enid benar-benar merasa sakit. Dia hanya duduk diam tak bergerak di kursi kerjanya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kekesalan, dan rasa cemburu yang semakin muncul.
Meskipun begitu, Enid menyadari bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk mengurai benang-benang emosinya yang kusut. Setelah termakan oleh pikirannya sendiri, Enid saat ini sangat ingin membunuh ayahnya. Rasa cinta terlarangnya itu, benar-benar menggerogoti akal dan pikiran sehatnya.
"Tahan, Enid," bisiknya, suaranya terdengar hanya oleh dirinya sendiri. "Ini bukanlah saat yang tepat. Aku akan menunggu momen itu datang." Wajahnya dibanjiri oleh kegeraman yang tak dapat dipendam lagi. "Lalu aku akan menghabisimu, Franc!" tambah Enid sambil menghentakkan tangan di atas meja.
Seseorang muncul dari balik pintu dengan langkah yang tegas, memecah keheningan kamar Enid. Pandangannya tak bisa dilepaskan dari sosok laki-laki yang memasuki ruangan dengan langkah mantap, dan tanpa ragu duduk di kursi santai di tengah ruangan.
"Kau ditolak lagi?"
Enid menendengus kesal. "Aku sedang tak ingin membahas ini, Markus," Enid berdiri dan mengambil ceret kecil yang terbuat dari tembaga berisi anggur, lalu ikut bergabung duduk bersama Markus. "Ah, kau berbicara santai, padaku?" tanya Enid.
"Waktu tugasku sudah selesai, jadi aku bebas memanggilmu sesukaku," ujar Markus sambil mengambil gelas dari tangan Enid.
"Kau kira kau berkerja di kedai makanan, ini kerajaan," balas Enid.
"Sudah jangan membahas hal yang tak penting," ujar Markus. Enid hanya bisa menghembuskan napasnya, merasakan beratnya beban yang menumpuk di pundaknya.
Markus, yang sejak kecil telah menjadi bagian dari keluarga kerajaan, menjalani hidupnya setelah berpisah dengan keluarganya yang berasal dari Heirs of de Dust.
Markus melontarkan komentarnya yang terasa menusuk. "Aku sungguh bingung dengan selera anehmu itu. Kau bisa saja mencari wanita seumuran atau bahkan lebih muda darimu dengan mudah." Sorot mata Markus penuh dengan kebingungan, mencoba memahami pilihan hidup Enid.
Enid menanggapi serangan itu dengan pertahanan tinggi. "Aneh kau bilang! Kau menghina seleraku, heh?!" Suaranya terdengar keras.
Namun, Markus cepat memberikan klarifikasi. "Bukan begitu maksudku, sialan."
"Kau baru saja menghina Ratu. Kau bisa terkena hukuman, dipenjara, disiksa, lalu kepalamu akan dipenggal. Setelah itu, aku akan memajang jasadmu di alun-alun kerajaan."
Markus, terdiam sejenak, kemudian melepaskan ekspresi melongo, memukul pelan kepalanya sambil berkata, "Dengarkan aku dulu, brengsek!"
Enid menyunggingkan senyumnya dengan bangga, karena berhasil membuat Markus mengumpat.