Enid melangkah melewati lorong istana yang megah, lalu keluar menuju taman. Beberapa bunga terlihat menunduk karena serangan dari air hujan, matahari terlihat tertutup oleh gelapnya awan hitam. Enid, yang masih menunggu laporan dari Markus, merenung sejenak. "Seharusnya hari ini sudah ada kabar," gumam Enid.
Dengan langkah hati-hati, Enid sedikit berlari melewati batu yang sengaja disusun untuk tapak kaki. Meskipun masih sangat pagi, hujan deras turun mengiringi langkah-langkahnya.
Sudah seminggu hujan terus mengguyur di seluruh Benua Anthares. "Aagghh ... sial!" umpat Enid, merasakan tetesan air jatuh tepat di atas kepalanya. Tanpa ragu, ia melompat dan mendarat di gajebo di tengah taman yang terhampar luas itu. Enid mengibas-kibaskan jubahnya, mencoba mengusir tetesan-tetesan air yang menempel, dan menyeka rambutnya yang basah. "Seharusnya aku membawa baju ganti," gerutu Enid, lalu memandang langit yang masih berwarna gelap.
Namun, Enid berhenti ketika mendengar suara memanggilnya. "Enid?" suara itu memanggilnya dengan penuh kehangatan.
Enid seketika mencari asal suara itu, mata merahnya yang tajam memperhatikan sekitarnya. Ia melihat adik perempuannya, Taneaya, sedang duduk di salah satu kursi ditengah-tengah gajebo itu. "Tane?" Enid berseru, terkejut oleh kehadiran adiknya.
Diatas mejanya terlihat satu cangkir yang sudah digunakan, masih ada tiga cangkir yang masih dibalik belum digunakan. Ditengah empat cangkir, sebuah pot berisi teh memberikan aroma harum menyeruak dia tempat itu.
"Kau sudah bangun, Tane? Ini masih pagi," ujar Enid, mendekat dan menarik kursi, lalu duduk disebelah adik perempuannya itu.
Taneaya tersenyum. "Setiap pagi aku selalu di taman ini. Aku sangat suka melihat embun yang menguap dan menempel di bunga-bunga. Terdengar aneh bukan?"
Enid hanya tersenyum lembut. "Tidak, Tane. Itu wajar. Embun memang membuat pikiran kita menjadi tenang, walaupun hanya sesaat."
Taneaya mengangguk setuju dengan pernyataan Enid, kemudian dia mengingat pertanyaannya yang tadi terlupakan. "Tak seperti biasanya kau terlihat di taman di pagi hari seperti ini," ujar Taneaya penasaran.
"Aku hanya ingin menenangkan pikiranku sejenak, sebelum penyerangan beberapa hari lagi," jawab Enid, sambil menuangkan teh dari pot ke dalam cangkirnya. Aroma teh yang harum semakin tercium tajam hidungnya.
"Jadi, itu benar-benar akan terjadi?" tanya Taneaya, menggambarkan kekhawatirannya.
Enid mengangguk. "Ya, begitulah. Ini kulakukan demi kerajaan ini, dan demi kehormatan Heirs kita," ujar Enid dengan penuh kebanggaan. Ia mencoba memberikan keyakinan pada adiknya bahwa tindakan ini dilakukan dengan pertimbangan matang dan untuk kebaikan bersama.
Taneaya memandang saudara laki-lakinya itu dengan penuh kecemasan, merasa kegelapan dan kesedihan sedang berputar-putar di dalam ekspresinya yang biasanya ceria. "Apa kau benar-benar senang melakukan semua ini, Enid?" tanya Taneaya dengan suara lembut.
Enid menoleh ke arah Taneaya, sedikit terkejut dengan kedalaman pertanyaan adik perempuannya itu. Lalu, dia tersenyum. "Ini sudah menjadi resikoku, Tane. Aku ini anak sulung, dan kita semua tahu bagaimana kondisi ayah sekarang. Aku harus menggantikan beberapa peran ayah, untuk memberinya waktu istirahat yang lebih banyak," jelas Enid dengan ringan, mencoba meredakan kekhawatiran Taneaya.
Taneaya merasa ada kesedihan tersirat di setiap kata yang diucapkan Enid. Tanpa berkata-kata, dia meraih kedua telapak tangan Enid, menggenggamnya dengan lembut. "Terima kasih, Enid. Kau berjuang sendiri dan tak pernah sekalipun aku melihatmu mengeluh. Maafkan aku, belum bisa membantumu. Aku berjanji, suatu hari nanti, aku akan turut membantu kerajaan ini," ujar Taneaya dengan suara haru.
Enid pun mengelus rambut Taneaya lembut. "Aku juga minta maaf karena hampir tidak pernah menemanimu, mengajakmu bermain, bahkan hanya berbicara seperti ini saja tidak pernah. Namun, ingatlah, aku selalu memantaumu, aku tahu semua perkembanganmu, dan aku bangga padamu."