Peperangan dan Ambisi: Buku 3. Angin Yang Ternoda Dari Barat

Sicksix
Chapter #22

84. Kepergian Eran

Eran duduk diam, mencoba tenang saat mendengar setiap kata dari cerita yang diutarakan oleh teman-temannya. Bukan hanya Eran, namun yang lainnya pun terlihat tak nyaman.

Sebelumnya, setelah kembali ke istana Berillan, Eran langsung mengendapkan langkahnya menuju pertemuan dengan teman-temannya.

"Kita tidak mempunyai petunjuk apapun, kecuali ciri-ciri para penyerang. Mereka berambut abu-abu dan mata mereka berwarna merah," jelas Kain, mencoba memberikan gambaran yang sejelas mungkin terkait musuh yang mereka hadapi.

Eran mendongak, fokus memperhatikan setiap kata yang diungkapkan oleh Kain. Pikirannya berputar, mencoba menyusun puzzle informasi yang ada. "Mereka dari keluarga Wind?" tebak Eran, mencoba mengaitkan ciri-ciri yang diutarakan dengan keluarga yang dikenal memiliki keunikan fisik tersebut.

"Aku juga berfikir seperti itu setelah melihat jasad mereka, namun jika mereka benar dari keluarga Wind, buat apa mereka mengincar Taneaya. Terlebih, Taneaya adalah salah satu penerus warisan Raja," jelas Theo.

"Didalam kepalaku, ada satu orang yang kucurigai. Dia adalah Duke Dignus," Kain menyampaikan dugaannya.

Eran, mengepalkan kedua tangannya wajahnya tampak sangat benci, amarah yang membara muncul ketika mendengar nama itu. "Kau benar, saat misi kita bertiga, bukankah kita sempat bertemu dengannya, dan dia mengejar kita," ujar Eran, setuju dengan dugaan Kain, mencoba menghubungkan serangkaian peristiwa yang pernah terjadi.

"Namun kita tidak memiliki bukti yang kuat. Katakanlah Dignus pelakunya," ujar Theo, memandang Eran dan Kain dengan ekspresi serius, lalu melanjutkan, "bagaimana dia tau kondisi kerajaan saat itu, bukankah itu seperti suatu kebetulan yang terlalu nyata."

Kain mengangguk setuju, menambahkan, "ah, benar juga, Theo. Ini seperti sebuah teka-teki yang terlalu rapi untuk dianggap kebetulan semata. Dia bahkan berada jauh di barat sana, bagaimana dia bisa tau pemberontakan yang terjadi di Berillan saat itu."

"Bukankah kabar itu sudah terdengar dan menjadi topik perbincangan dimana-mana," jelas Eran.

"Itu benar, tapi bagaimana bisa momennya sangat tepat. Momen itu terjadi saat semua prajurit kerajaan tak ada di istana," sanggah Kain.

"Lalu kita harus bagaimana?" tanya Eran, kekhawatirannya terpantul jelas di matanya.

"Raja sudah memerintahkan beberapa orang untuk menyelidiki dan mencari keberadaan Taneaya," jelas Theo, memberikan informasi terbaru yang mereka terima dari pihak kerajaan, namun kekhawatiran masih menyelimuti wajah mereka.

"Kita harus bertindak juga," tegas Kain, melanjutkan, "Kita tidak bisa mendiamkan ini. Kita tidak tahu bagaimana kondisi Taneaya sekarang, dan kita tidak bisa membiarkan ketidakpastian ini terus menggantung."

Theo dan Eran mengangguk setuju, menyatukan tujuan mereka.

"Mungkin kita bisa mencari petunjuk di kota, berbicara dengan siapapun. mungkin tahu sesuatu yang bisa membantu kita," usul Theo.

"Benar, kita perlu mendapatkan informasi dari sumber yang beragam. Jangan lupa juga untuk menjaga kewaspadaan, mungkin ada pihak-pihak yang tidak menginginkan kita mendekati kebenaran ini," tambah Kain.

"Itu akan memakan waktu lama," sanggah Eran tak setuju.

Theo dan Kain melirik kearah Eran. "Lalu, apa kau mempunyai saran?" tanya Kain.

"Kenapa kita tidak meminta informasi dari Canary Whistle saja?" usul Eran.

Theo dan Kain terlihat berfikir.

"Kita tidak akan berurusan dengan organisasi itu, aku tak percaya mereka," ujar Theo setelah selesai berfikir.

Eran mengernyitkan tatapannya pada Theo. "Kenapa?"

"Mereka orang selatan, tak bisa dipercaya."

"Kita akan membayar mereka," ujar Eran.

Theo menggelengkan kepalanya. "Mereka akan melihat bayaran siapa yang paling tinggi untuk sebuah informasi yang sama. Dan juga, kita tak tau ada berapa banyak yang tertarik dengan informasi ini. Mereka sangat licik," tutup Theo.

"Kebencianmu itu terasa personal, apa orang selatan pernah menyakitimu?" tanya Kain menyelidik.

Lihat selengkapnya