Taneaya, yang terdampar dalam kelemahan, membuka matanya secara perlahan. Merasa lemas, dia menyadari bahwa dekapan dingin dari tembaga pada tangan dan kakinya dilepas. Tubuhnya terasa diangkat, sensasi tubuhnya diangkat terasa nyaman.
"Aaaa ..." Suara pelan hanya itu yang bisa keluar dari mulut mungil Taneaya. Bibirnya terlihat mengering, dan ada sedikit luka yang tampak. Kemudian, matanya kembali tertutup.
Taneaya membuka matanya lagi dengan lemah, pandangannya samar. Kali ini, dia merasa dingin dan basah, terdengar dua orang wanita berbincang sambil membersihkan tubuhnya. Taneaya ingin melihat, namun tak kuasa menahan rasa lemas, dan tak lama kemudian, dia tak sadarkan diri.
Sebuah tepukan mengejutkannya, matanya yang sayu berkedip menyesuaikan cahaya yang begitu terang. Tubuhnya terasa nyaman, dan Taneaya merasakan alas tubuhnya bukan lagi jerami-jerami kering yang lembab.
Dengan pandangan samar, Taneaya melihat seorang pelayan menjulurkan sesuatu pada mulutnya. Dia sangat lapar, tanpa sadar membuat gadis itu membuka mulut kecilnya, lalu dengan pelan dia mengunyah makanan yang disodorkan. Pelayan itu dengan penuh kesabaran menunggu sampai Taneaya selesai mengunyah.
Setelah makan, pelayan itu meminumkan air pada Taneaya. Tak lama kemudian, tangan lembut pelayan itu mengelus pipi Taneaya. "Beristirahatlah sejenak, my lady," ujarnya sambil tersenyum, lalu meninggalkan Taneaya sendirian. Matanya terasa berat, dan sekali lagi, Taneaya tertidur dengan damai.
Sementara itu, di tempat lain, Sandise terlihat berjalan dengan cepat menelusuri lorong dan berhenti di depan sebuah ruangan. Dengan hati-hati, tangannya membuka pintu ruangan itu.
Terlihat di ujung ruangan, seorang pria tampan berambut abu-abu gelap dengan belahan tengahnya tengah sibuk dengan beberapa scroll yang menumpuk di mejanya.
"Bagaimana, kawanku, sudah beres?" tanya laki-laki itu sambil menatap Sandise.
"Aku sudah memindahkan adikmu ke kamar sesuai permintaanmu. Sekarang, apa rencanamu, Dignus?" ujar Sandise ketus, sambil dengan kasar duduk di salah satu kursi panjang yang dilapisi kain lembut. Suara bantingan bokongnya terdengar jelas saat ia menjatuhkan diri di atas gumpalan tempat duduk empuk itu.
"Terima kasih, Sandise. Aku akan menemui adikku setelah kondisinya membaik," ujar Dignus, tersenyum puas pada sahabatnya sekaligus tangan kanannya.
Namun berbeda dengan pangerannya itu, Sandise memasang wajah khawatir. Sandise terkejut saat seminggu yang lalu Dignus membawa Taneaya. Dia merasakan sesuatu yang membuatnya gelisah.
"Hei, apa kau tak merasa aneh?" tanya Sandise, mencoba menyuarakan kekhawatirannya.
Dignus melirik ke arah Sandise dengan wajah bingung. "Aneh? Aneh kenapa?" tanya Dignus, tampak tidak menyadari perasaan khawatir sahabatnya.
Sandise menghembuskan nafasnya kasar dan menggelengkan kepalanya. "Apa kau lupa janjimu pada Enid!?"