Peperangan dan Ambisi: Buku 3. Angin Yang Ternoda Dari Barat

Sicksix
Chapter #26

88. Tawanan

Di salah satu kamar di kediaman Duke Kota Starastok, seorang gadis tersadar dari lelapnya. Dia membuka matanya, mengerjapkan berkali-kali, mencoba menavigasi dunianya yang baru setelah menyadari bahwa dia tak lagi terlelap.

"Apakah aku bermimpi?" tanyaannya bergelayut di udara, suara bisikan kecil yang berusaha mencari pemahaman dari keadaannya. Setelah mencoba mengingat, ia pun tersadar dan membuka matanya lebih lebar, mencari kejelasan di sekitarnya.

Ia berusaha untuk mengenali setiap inci ruangan yang terlihat begitu asing baginya. Cobaan pertamanya adalah untuk duduk, merasakan bagaimana tubuhnya merespons setiap gerakan. Tubuhnya, yang sebelumnya terasa rapuh, sudah sedikit membaik; tenaganya terisi secara perlahan.

Setelah terdiam cukup lama, ia merapatkan selimut yang masih menutupi tubuhnya dan mencoba untuk menurunkan kakinya di lantai. "Ughh," pekiknya, merasakan pergelangan kakinya yang masih terasa ngilu. Lalu dia melirik ke bawah, menemukan sepasang alas kaki yang tampak empuk. Dengan berhati-hati, dia memutuskan untuk menggunakannya, berharap bisa memberikan sedikit kenyamanan saat menginjak lantai yang mungkin tidak sehangat ranjangnya.

Namun, kesakitan tak terelakkan menyusulnya saat ia mencoba turun dari ranjang berukuran sedang itu. "Argghhh." Ia mengerang kesakitan, merasakan setiap ketidaknyamanan dalam gerakannya. Tangannya bereksplorasi di sekitar, mencoba mencari pegangan di tepi kasur, hingga akhirnya ia ambruk di lantai yang berlapis karpet empuk.

Brughhh!

"Benar-benar, tak ada yang mudah," gumamnya, berbicara pada dirinya sendiri. Sambil berusaha untuk bangkit kembali, ia merenung sejenak, mencerna setiap sensasi yang datang darinya.

Dia merasakan sakit yang menyeluruh di sekujur tubuhnya, terutama di pergelangan tangannya yang terlihat gemetar. Bahkan, geraknya terasa berat saat ia mencoba untuk bangkit kembali. Meski belum pulih sepenuhnya, kakinya masih terasa sakit, tak mampu sepenuhnya menopang tubuh yang rentan.

Berusaha untuk berjalan sempoyongan, gadis itu menuju balkon. Tiba di sana, ia merasakan hembusan angin yang begitu kencang, mencoba meredakan kekacauan batinnya.

"Apa ini kamar Dignus? Tetapi, tak ada aroma khasnya di sini," bisiknya pelan, suaranya terbawa oleh angin yang melolos masuk ke dalam.

Kepalanya bergerak menoleh kesana-kemari, matanya mencari petunjuk di sekeliling yang asing ini. "Sepertinya tak ada jalan keluar. Aku akan mati konyol jika melompat dari sini."

Dengan langkah yang masih ragu, gadis itu mencoba menjelajahi kamar, menelisik setiap sudutnya. Meski tubuhnya terombang-ambing, ia berusaha membuka pintu kamar dengan harapan menemukan jalan keluar. Namun, kecewa memenuhi hatinya ketika pintu terasa tak bersahabat, terkunci rapat.

"Tidak ada celah, sepertinya aku harus mencari celah lain nanti," bisiknya sendiri, ekspresi wajahnya terlihat tak pasti.

Tanpa hasil yang memuaskan, ia kembali ke ranjang tadi. "Tidak ada jalan keluar. Sepertinya aku terperangkap di sini," desisnya dengan rasa frustasi yang semakin menggelayuti.

Dalam kebingungannya, terbersit bayangan Dignus di benaknya. "Bagaimana jika Dignus kekamar ini?" Taneaya menggigil menduga kemungkinan itu. Tanpa sadar, ia memeluk dirinya sendiri, merasakan ketidakpastian yang merajai dirinya. "Aku harus bersabar," bisiknya, mencoba menenangkan diri di tengah situasi yang belum jelas ini.

Namun, di antara keraguannya, terbersit pula keinginan untuk mengetahui kebenaran di balik semua ini. Seiring dengan itu, terdengar suara langkah kaki di koridor di luar kamar, membuat hati Taneaya berdegup kencang. Ia menarik napas dalam-dalam, berharap kehadiran yang mungkin akan menjelaskan segalanya.

Tiba-tiba, ketika Taneaya masih mencerna keadaan, terdengar suara kunci pintu bergeser, lalu tak lama kemudian pintu terbuka.

CEKLEK

Gadis itu menoleh dan melihat seorang wanita yang tampak seumuran dengannya. Dugaannya mengarah pada pelayan di tempat ini.

"Maaf jika membuat Anda terkejut, Lady Taneaya," sapa wanita itu hangat sambil tersenyum, lalu ia membungkuk dengan sopan. "Saya adalah Somi, akan merawat anda selama berada di sini," ucapnya sambil senyum ramah, sambil mendekat, membawa sejumput kehangatan dalam tatapannya.

Taneaya hanya terdiam, mata yang tajam terus memperhatikan gerak-gerik Somi yang mendekat. Wanita itu mengambil kursi yang tersedia di dekat lemari pakaian, lalu meletakkannya di samping tempat tidur Taneaya.

Lihat selengkapnya