Peperangan dan Ambisi: Buku 3. Angin Yang Ternoda Dari Barat

Sicksix
Chapter #28

90. Permainan Lama

KRIEETTTT!!

Taneaya terkejut ketika bunyi pintu yang dibuka memecah pikirannya. Dignus tetap diam saat Taneaya enggan melepaskan sorot matanya yang terpaku pada pria yang berdiri di depannya. Ia merasa tertekan oleh aura yang dimiliki Dignus. Tidak ada langkah atau gerakan yang ia lakukan yang tidak diawasi olehnya.

Taneaya menoleh ke arah Dignus, yang masih menatapnya dengan intensitas yang mengganggu. Taneaya meraba-raba tubuhnya yang nyeri, melihat bekas luka dan lebam yang menghiasi kulitnya.

"Aku takut," gumam Taneaya dengan suara lirih, mencoba menyembunyikan kecemasannya. Dia merasakan getaran gugup di dalam dirinya, menyadari bahwa ia tidak mampu melawan Dignus dalam kondisi ini. Tapi, kemarahannya akhirnya mendorongnya untuk memberontak. Taneaya tak ingin kejadian masa lalunya terulang lagi.

Taneaya, dengan tatapan penuh kemarahan, menatap Dignus yang seakan-akan tanpa beban di ambang pintu. Mereka berdua saling diam, tidak ada kata yang terucap, namun atmosfer di antara mereka terasa begitu tegang.

"Sudah cukup, Dignus!" seru Taneaya dengan lantang, tangan kanan dan kirinya menggenggam erat dua garpu yang telah dia sembunyikan sebelumnya. Dia tak akan membiarkan kakaknya itu menghancurkan hidupnya lagi.

Dengan gerakan khas Blade Dancer, Taneaya melancarkan serangan ke arah Dignus. Namun, semua usahanya terasa sia-sia. Ia menyerang dengan segenap kekuatannya, namun Dignus dengan cekatan menghindari setiap serangannya. Taneaya merasa keputusasaan mulai melanda saat ia menyadari bahwa dirinya masih belum pulih sepenuhnya dari cedera di pergelangan tangan dan kaki.

Setelah beberapa menit pertarungan yang tak berarti, Dignus akhirnya memutuskan untuk mengakhirinya. Dengan cepat, tangan Dignus meluncur dan menampar Taneaya dengan kuat. Adiknya terpental ke belakang, terjatuh dengan tubuh yang lemah.

Taneaya merasakan rasa sakit sembari bergidik. Tidak hanya sakit fisik, tetapi juga sakit hati. Dia terluka bukan hanya oleh tubuhnya yang terhempas, tetapi oleh pengkhianatan dan kekejaman kakaknya yang sama sekali tidak mengenal belas kasihan.

Saat Taneaya merangkak diri di lantai, dia memandang Dignus dengan pandangan penuh keputusasaan. Air mata mengalir di wajahnya yang lelah.

"Dignus, mengapa ... mengapa kau lakukan ini lagi padaku?" gumam Taneaya dengan suara terputus-putus.

Dignus tersenyum sinis, menghirup udara dalam-dalam sebelum menjawab, "Kau takkan pernah mengerti, adikku. Hanya dengan kekuasaan dan dominasiku terhadapmu, aku bisa merasa hidup."

Taneaya terduduk di lantai, merasakan kehancuran dalam dirinya. Meskipun fisiknya terluka, yang terasa lebih sakit adalah hatinya yang hancur berkeping-keping.

Taneaya berpikir akan kabur, namun segera dia sadar jika itu pilihan bodoh, bagaimana kalau Taneaya mencoba membunuh Dignus lagi, itu juga pilihan bodoh, rasa nyeri di seluruh tubuhnya ini. Apa Taneaya mampu melawan Dignus lagi? Tidak. Taneaya takut.

Yang dilakukannya sekarang hanya menunduk seperti perintah awal Dignus tadi, kerongkongannya terasa kering, nafasnya terasa sesak, ketakutannya semakin menjadi-jadi, yang ada di pikirannya sekarang adalah menebak-nebak apa yang akan dilakukan Dignus.

Dignus, nafasnya terdengar menderu, seolah-olah sedang menikmati ketakutan dan ketidakberdayaan Taneaya. Dengan perlahan, ia berlutut di samping Taneaya, menempatkan piring putih berisi makanan di depannya.

"Aku hanya ingin mengantarkan makanan, Taneaya," ucap Dignus dengan nada rendah. Taneaya merasakan jantungnya berdebar kencang dan tenggorokannya terasa kering ketika mendengar suara itu. Lalu Dignus melanjutkan, "kau masih ingatkan apa yang harus kau lakukan jika hanya berdua dikamar?" tanya Dignus tersenyum mengerikan, Taneaya tak bisa menghindar dari perintah yang diberikan.

Dignus pun melangkah pergi keluar kamar untuk mengambil piring yang ada di atas kereta makanan, setelah itu dia kembali. Dengan langkah perlahan, Dignus mendekati Taneaya lagi, menyusup ke dalam jarak yang hampir tidak ada. Ia merapatkan dirinya dengan hati-hati, lalu berjongkok di samping Taneaya. Tangan Dignus mengulurkan piring putih di depan Taneaya, yang sudah mematuhi perintah Dignus, berlutut di tempatnya.

Taneaya menurunkan kepalanya mengikuti instruksi Dignus, merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Hatinya terombang-ambing oleh kegelisahan dan kecemasan saat mencoba memperkirakan apa yang akan dilakukan oleh Dignus selanjutnya.

Lihat selengkapnya