Ketika kedua besi bertemu, terdengar dentingan yang keras. Mata mereka saling memandang tajam, penuh dengan ekspresi saling benci antar keduanya. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka, hanya suara dentingan besi yang terus mengisi ruangan itu.
Dua orang itu terus saling mendorong, mundur, dan menyerang kembali dengan cepat. Dignus menggenggam kedua pedangnya dengan amarah yang membara. Ayunan pedangnya penuh pelampiasan disetiap serangannya. Eran terus menghindar dengan gerakan lincah, tidak ingin terkena serangan dari Duke itu.
"Jangan menghindar, hadapi aku!" teriak Dignus dengan bangga, menunjukkan arrogansinya. Namun, Eran hanya diam dan menghindari setiap serangan tanpa berkata sepatah kata pun.
Seiring waktu berjalan, ruang gerak Eran semakin terbatas. Tidak sadar, punggungnya sudah menabrak dinding, membuatnya terpojok oleh tekanan dari Dignus. Duke itu tidak menyia-nyiakan kesempatan dan segera melayangkan tusukan pedangnya ke arah perut Eran.
Dalam sekejap, Eran menggerakan perutnya kesamping, menghindari senjata tajam yang melesat menuju dirinya, dan dengan gerakan cepat, dia maju menyeruduk Dignus dengan penuh tenaga. Tubuhnya seperti panah yang dilepaskan dari busur.
Dignus terpental ke belakang, perutnya terasa nyeri akibat serangan tiba-tiba dari Eran. Dengan setiap hembusan nafas yang berat, Dignus berusaha memusatkan pikirannya untuk menemukan celah dalam serangan musuhnya. Habis-habisan, Eran mendekatinya lagi, sepasang belati dia genggam kuat.
"Kau tak akan dapat menghindar terus, Dignus!" desis Eran.
Dignus merapatkan lengannya ke depan, mempersiapkan diri menghadapi serangan, dia menyiapkan kuda-kuda dikakinya. Saat Eran menerjang, Dignus melompat ke depan dengan berputar keatas, melewati kepala Eran dengan keahliannya yang lincah.
Saat tubuh Dignus mendarat dengan anggun di belakang Eran yang terhuyung. Seketika serangan balasan terarah tepat ke tengkuk Eran saat Dignus melepaskan tendangan kejam. Suara hantaman langsung terdengar, menggetarkan udara sekitar.
Eran terhuyung ke depan, tubuhnya tak lagi dapat dikendalikan. Dia akhirnya menabrak kursi yang berada di depannya. Segera setelah itu, Eran berbalik, dan dugaannya terbukti benar. Dengan cepat Dignus mendekatinya, kesemuanya dilakukan dengan penuh kepercayaan diri, tusukan-tusukan pedangnya yang mematikan siap meluncur.
"Kau sudah terkunci, Eran!" seru Dignus dengan meringis buas.
"Aku masih hidup, jadi seranganmu tidak berpengaruh sama sekali!" teriak Eran sambil berguling ke arah kanan, menghindari dengan tusukan yang dilancarkan oleh Dignus. Eran segera bangkit, berdiri tegap, dan memasang kuda-kuda dengan cepat.
Eran kembali melesat ke arah Dignus. Kedua belati Eran bergerak seakan memiliki kehidupan sendiri, mempercepat serangannya menjadi dua kali lipat, menggemparkan ruang pertarungan. Dignus, terkejut oleh kecepatan Eran, berusaha dengan susah payah menahan setiap serangan yang datang, namun tak bisa menghindari beberapa goresan tajam yang merobek tubuhnya.
"Bangsat! Kau kira hanya kau saja yang mempunyai kecepatan seperti itu," bentak Dignus dengan kesal.
Pertarungan antara Eran dan Dignus terus berlanjut, menjadi tarian sengit di dalam kegelapan ruangan itu. Masing-masing dari mereka berusaha memprediksi dan mengalahkan lawannya.
Dignus, dengan serius, memfokuskan pandangannya. Dia memutuskan untuk tidak lagi meremehkan lawannya. Kini, dia berhasil membaca setiap gerakan Eran dengan lebih cermat. Saat Eran berusaha mengecoh dengan posisi belakang, Dignus tiba-tiba menunduk, merendahkan tubuhnya untuk menghindari tebasan. Sambil menunduk, Dignus memutar tubuhnya dengan lincah, menebas dengan kedua pedangnya, mencoba menebus posisinya yang terdesak.
Eran mengernyit sakit saat merasakan dua tebasan menyayat kedua pahanya, goresan pedang yang cukup dalam membuatnya melompat mundur dengan ekspresi wajah yang terdistorsi oleh rasa sakit.
Mereka berdua diam sejenak, saling menatap dengan tatapan yang penuh kebencian dan kelelahan, sementara udara malam di sekitar mereka terasa seolah-olah ikut terengah-engah.