Sandise memandangi tabib tua dengan pandangan cemas. "Bagaimana keadaannya?" tanyanya sambil menarik napas. Tabib tua itu sibuk membereskan peralatannya, terlihat beragam tanaman dan ramuan tersebar di atas meja perawatan.
"Bersyukur, tusukan belatinya tidak sampai menyentuh organ vitalnya," jawab tabib tua sambil mengelap keringat di dahinya. Ia kemudian melanjutkan dengan penuh perhatian. "Namun, duke perlu beristirahat beberapa hari agar luka-lukanya dapat pulih dengan baik."
Sandise mengangguk, merasakan bebannya sedikit terangkat. "Terima kasih atas perawatanmu, tabib. Kami semua khawatir akan nasib duke."
Tabib tua itu hanya mengangguk sambil tersenyum lembut. "Ini tugasku, Sandise. Semoga duke segera pulih sepenuhnya."
Dengan langkah hati-hati, Sandise bergerak menuju salah satu kursi yang ada ditengah kamar duke-nya. Dia bersandar di sana, masih terlihat cemas dan gelisah.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" Tabib itu bertanya, sembari istirahat di salah satu kursi di tengah ruangan, raut wajahnya keheranan.
Sandise meresapi pertanyaan tabib tersebut, lalu duduk di sampingnya. "Aku belum tahu. Nanti aku akan menginterogasi penyusup itu," jawabnya dengan nada resah.
"Kau kecolongan?" tanya tabib itu dengan tatapan penuh tanya.
Sandise mengangguk sambil memijat dahinya. "Yah, sepertinya begitu. Baru kali ini aku menemukan penyusup seberani dia," jelas Sandise, ekspresinya tergambar rasa kesal.
Tabib itu menyatakan, "aku sudah mengobati penyusup itu. Mungkin kau bisa menginterogasinya nanti."
"Baiklah, aku akan memeriksa kondisi lady Taneaya," ujar Sandise seraya berdiri dan bergegas meninggalkan kamar itu.
Sementara itu, di kamar lain, kegaduhan mencuat, para pelayan dan beberapa penjaga tampak kesulitan menangani situasi yang tak terduga ini.
"My lady, turunkan pedang anda, itu berbahaya," bujuk salah satu prajurit dengan suara yang penuh kehati-hatian.
Para pelayan berkumpul di dekat pintu masuk, wajah mereka terlihat ketakutan. Taneaya, memegang satu pedang, dikelilingi oleh beberapa prajurit penjaga, terlihat penuh kewaspadaan.
"Biarkan aku keluar dari kamar ini!" teriak Taneaya dengan nada yang memancarkan keputusasaan.
Suasana semakin tegang ketika Taneaya tampaknya tak berniat menyerahkan pedangnya. Prajurit penjaga tetap waspada, mencoba menemukan cara untuk menenangkan situasi yang semakin memanas.
Lalu, tak lama kemudian, suara Sandise mengalihkan fokus semua orang. "Ada apa ini?!" serunya tiba-tiba, langkahnya tergesa menuju tengah kekacauan.
Salah satu prajurit mendekat ke arah Sandise dan memberikan laporan dengan berbisik. Sandise merasa ia harus turun tangan langsung, sehingga dia melangkah mendekat ke tengah ruangan. Dia memberi isyarat pada anak buahnya untuk mundur, dan para prajurit bergerak ke belakangnya, membentuk barisan yang rapi.
"My lady, turunkan senjata anda, kumohon," ujar Sandise dengan nada hati-hati. Meskipun amarah menyala di dalamnya, dia berusaha keras untuk menahan emosinya. Beberapa hari terakhir, dia telah menjalani banyak keributan seorang diri, dan tekanan itu tampaknya membebani bahunya. Sandise benar-benar ingin melepaskan segala amarahnya, namun dia tahu bahwa saat ini bukan waktu yang tepat. Ada interogasi yang harus dia lakukan, mungkin itu bisa melepaskan sedikit penat di pikirannya.