Peperangan dan Ambisi: Buku 3. Angin Yang Ternoda Dari Barat

Sicksix
Chapter #32

95. Sebuah Janji

"Bagaimana keadaanmu, Taneaya?" tanya Sandise dengan sebuah kilatan penasaran yang memancar dari kedua matanya.

"Maafkan aku, apakah kau merasa baik-baik saja?" Taneaya tidak menjawab dan mengabaikan pertanyaan Sandise. Taneaya malah berbalik bertanya.

Sandise merogoh bahu dengan tatapannya terarah. "Ini bukanlah masalah." Lalu mengalihkan mata untuk sekilas menatap bahunya sendiri, sebelum kembali menatap tajam ke arah Taneaya. Dengan lembut dia mengangkat dagu Taneaya, ia menegaskan, "kau masih belum menjawab pertanyaanku tadi?"

Taneaya merasakan kejutan di hatinya atas sikap Sandise. "Apa yang sedang kaulakukan, Sandise?!" ujar Taneaya dengan nada khawatir dan segera menyingkirkan tangan Sandise dengan tegas.

Taneaya mengerling tajam kepada Sandise. Sandise menjawab dengan suara emosi yang tertahan, "beginikah sikapmu terhadap orang yang telah memberikan bantuan kepadamu dulu? Ingatkah Taneaya, kau memiliki beban budi padaku?" Sandise melontarkan pernyataan dengan senyuman yang mencurigakan.

"Aku tidak berhutang budi padamu. Bukankah itu tugasmu untuk melindungi seorang putri raja?" ujar Taneaya dengan nada tajam, mencoba menegaskan posisinya.

Sandise tanpa kehilangan senyumnya, mengangkat alis dengan penuh keceriaan semu. "Kenapa kau masih kasar terhadapku?" katanya, menyisipkan nada sedih diantara perkataannya.

Taneaya mengernyit mendengar pertanyaan Sandise, mencoba mengingat kembali kenangan-kenangan yang telah terpendam di masa lalu. Sandise melanjutkan, "apa karena aku ada di pihak Dignus?" Seolah mencoba menyelami alasan di balik sikap dingin Taneaya.

Taneaya tetap diam, matanya penuh dengan kebingungan. Sandise tidak berhenti di situ, mendorong tubuh Taneaya hingga terpojok di dinding, dan dengan tubuhnya yang mendekap gadis itu, Sandise menciptakan ruang yang sempit di antara mereka. Sorot mata tajam Sandise memancarkan rasa penasaran.

"Kaulah yang memintaku untuk selalu menjaga pangeran kedua yang tak berguna itu!" ucap Sandise dengan nada penuh penekanan yang membuat kata-katanya menancap di ingatan Taneaya. Ingatan Taneaya terhenti sejenak.

"Aku tidak ingat pernah meminta itu," ucap Taneaya dengan penuh kepastian, namun terlihat ada keraguan di matanya.

Sandise terlihat benar-benar marah, dan dengan tangan kanannya, dia meninju dinding di samping wajah Taneaya, menciptakan suara benturan yang membuat gadis itu terkejut.

"Kau tak berubah sama sekali. Kau tetap tak melihat betapa besarnya perjuanganku untukmu!" gumam Sandise, kata-katanya terdengar seperti desakan perasaan yang lama terpendam. Taneaya mendengar itu dan tiba-tiba merasa terketuk hatinya oleh rasa bersalah.

Suasana menjadi tegang, Sandise terlihat benar-benar marah, namun dia berusaha secepat mungkin untuk menguasai pikirannya.

Setelah itu, dia menghembuskan nafasnya, lalu menjauh dari Taneaya, kembali melangkah dengan langkah-langkah yang panjang.

"Ikuti aku, tuan putri," ujar Sandise membelakangi Taneaya, memberi isyarat agar dia mengikuti.

Taneaya yang sempat terdiam beberapa detik pun kembali tersadar, dengan ragu dan rasa bersalah, dia mengikuti langkah pria itu dari belakang.

"Sandise," Taneaya memanggil pria itu dengan ragu, mencoba menembus dinding emosional yang telah dibangun Sandise.

Taneaya pun berlari mencoba mensejajarkan langkahnya. "Sandise, maafkan aku," ujar Taneaya sambil melihat wajah Sandise yang masih terlihat tak ingin melibatkan diri. Taneaya merasa bersalah di hadapan Sandise, namun dia memutuskan untuk mengungkapkan penyesalannya.

"Sandise, kumohon," pinta Taneaya dengan rasa bersalahnya, mencoba meredakan ketegangan yang terasa di udara.

Lihat selengkapnya