Eran dengan susah payah mengubah posisinya, kini duduk bersandar di dinding dengan alas matras. Sedikit perban memerah menandakan luka-luka yang belum sembuh sepenuhnya. Didepannya, Sandise masih menatapnya dengan tatapan yang tajam
"Interogasimu tidak jadi?" ejek Eran, sambil memainkan nada suaranya untuk menyentil emosi Sandise.
Sandise berusaha mempertahankan ekspresi wajah yang tenang, namun Eran bisa melihat otot-otot rahang Sandise yang mengeras.
"Kau tahu, metode interogasi di Kerajaan Satascar sungguh unik. Biasanya, dilakukan di penjara bawah tanah dengan penerangan yang minim dan udara yang lembap. Kami juga diberi izin untuk menggunakan alat bantu," Sandise berhenti sejenak, mengeluarkan pisau kecil dari saku dan mengelus-elusnya, lalu menatap Eran dengan tajam sebelum melanjutkan, "biasanya, aku akan merobek, menusuk, mencongkel, menyayat, memotong, sampai aku mendapatkan informasi yang diinginkan."
Eran hanya menguap dengan dibuat-buat, mencoba untuk menunjukkan ketidakpedulian. "Cepatlah, aku ingin istirahat," ujar Eran dengan nada malas, seperti seorang pelawak yang bosan.
Sandise meresapi tingkah Eran, memahami bahwa di balik ketidakpedulian yang diperlihatkan, ada kekuatan dan kelicikan yang perlu diwaspadai. "Kau berpura-pura santai, sialan. Tetapi aku tahu kau tidak akan memberikan informasi dengan begitu mudah," ucap Sandise dengan nada sedikit bergetar menahan amarahnya.
Eran tersenyum sinis. "Dan bagaimana kau bisa tahu itu, Sandise? Kau pikir aku akan takut pada ancamanmu?"
Sandise menjawab dengan tenang, "melakukan ancaman bukanlah satu-satunya cara untuk mendapatkan informasi, Eran. Terkadang, ketidakpastian dan psikologis bisa lebih efektif. Aku hanya ingin tahu alasanmu berada di sini dan siapa yang mengirimmu."
Eran mendengus. "Kita hidup didunia yang sama. Terkadang, seseorang bisa memiliki alasan pribadi untuk melakukan apapun yang mereka anggap berharga."
Sandise bangkit dari tempat duduknya, menatap Eran dengan serius. "Kau mungkin berpikir bahwa kau dapat menahan semua ini dengan sikap acuh tak acuhmu, tetapi percayalah, Eran, ada cara untuk mengungkap kebenaran."
Eran hanya menjawab dengan senyuman meremehkan. "Coba saja, Sandise. Aku tahu kau tak akan sanggup melakukan apapun."
Tiba-tiba sebuah injakan mendarat di perut Eran. "Oegghhhkk!!" pekik Eran merasa nyeri, perbannya sebagian terlepas, luka bekas jahitan kembali terbuka dan mengeluarkan darah.
Sandise menekan pijakannya pada perut Eran, dan dia mendekatkan kepalanya pada kepala Eran.
"Biasanya penyusup sepertimu akan diambil empat jarinya, dan ditambah kau melukai seorang pangeran, kepalamu akan dipajang di tengah kota!" Sandise mengatakan itu dengan terburu-buru, deru nafasnya terdengar ditelinga Eran. Lalu Sandise melanjutkan, "kau beruntung karena permintaan tuan putri untuk tidak menyakitimu!"
Setelah mengatakan itu, Sandise melepaskan pijakannya, dan menghentakan kaki kanannya untuk membersihkan bootsnya.
Eran terlihat terengah-engah, sakitnya menjalar keseluruh tubuh, kedua tangannya menutup lukanya yang kembali terbuka.
"Sialan, boots-ku jadi kotor!" Sandise melirik kearah Eran yang terlihat tersiksa, lalu dia berkata, "ah, maafkan aku, lukamu jadi terbuka lagi," Sandise mengucapkan itu dengan senyum puas diwajahnya.
"Baiklah, aku akan memulai interogasinya, aku hampir melupakannya, hahaha," ujar Sandise dengan sedikit tertawa.
Eran masih mencoba menjaga kesadarannya, dia tidak mau kalah dari permainan psikologis ini.
"Apa tujuan penyusupanmu? Tunggu, tunggu jangan dijawab," Sandise terlihat mengkoreksi pertanyaannya, "Siapa namamu, wahai penyusup?"
Eran terlihat menyunggingkan senyumnya. "Bukankah, kau sudah mendengar namaku dari mulut Taneaya tadi?"
Sandise mendengar itu berdiri dari duduknya, kepalanya seperti terbakar lalu dia menginjak-injak Eran berkali-kali. "Bajingan rendahan! Beraninya, kau menyebut namanya dari mulut busukmu itu!" Sandise terus menginjak tubuh Eran sambil mengumpat untuk meluapkan amarahnya. "Brengsek! Bajingan! Kumpulan kotoran! Bangsat!"
Eran mencoba menahan injakan Sandise yang mengarah di dada Eran dengan kedua lengannya.
Lalu tak lama Sandise berhenti dari kegiatannya, dan membenarkan bajunya dan menyeka rambutnya lalu kembali duduk.
Sandise mencoba menarik napas panjang dan menghembuskannya. "Ah, maaf, aku sedikit terbawa suasana," ujar Sandise dengan senyumnya.
Eran terlihat kembali keposisi duduknya dengan kesusahan.
"Baiklah, pertanyaan pertama. Siapa yang memerintahkanmu untuk menyerang, duke Dignus? Maaf, maksudku si sialan Dignus," tanya Sandise dengan mencoba tenang, walaupun masih terdengar nafasnya yang sedikit memburu.
"Tidak ada, aku tidak berniat menyerang pangeran incest itu," jawab Eran.