Peperangan dan Ambisi: Buku 3. Angin Yang Ternoda Dari Barat

Sicksix
Chapter #34

96. Jalan Keluar

Dignus duduk di kursi panjang di tengah kamarnya, merenung dalam ketidakpuasan setelah kegaduhan yang terjadi beberapa jam yang lalu setelah sadar dari tidurnya. Wajahnya masih terpancar kemarahan meskipun sudah dihentikan oleh tabib dan beberapa penjaga yang berhasil menahan amukannya untuk mencari Eran.

Akhirnya, Dignus mengalah, menyesuaikan posisinya di kursi karena perut sebelah kirinya masih terasa sakit akibat bentrokan sebelumnya. Dalam keadaan seperti ini, dia masih sempat menanyakan kabar Taneaya dan aktivitasnya kepada beberapa pelayannya yang berani mendekatinya. Namun, jawaban yang dia terima hanya menambah deretan ketidakpuasan dalam dirinya. Taneaya, yang seharusnya menjadi adik perempuan yang patuh, ternyata sama sekali tidak meluangkan perhatian kepadanya. Bahkan, hanya untuk melihatnya saja tidak dilakukannya.

"Ugh ... Aku akan menghukummu nanti. Kau sudah berani," ujar Dignus dengan suara kesal, merencanakan pembalasan terhadap siapapun yang dianggapnya telah menghianatinya.

Lalu, suara pintu yang tiba-tiba terbuka mengejutkannya, dan dia menoleh cepat ke arah pintu itu. Cahaya dari luar memenuhi ruangan, dan Dignus melihat seorang sosok yang memasuki kamarnya dengan langkah mantap.

"Kau sudah sadar?" tsnys Sandise, yang sudah masuk.

Dignus sudah menebak siapa yang akan datang. "Sandise," ujar Dignus menebak, lalu mendengus kesal. "Kau bisa melihatnya bukan?"

Lelaki itu mendekat dan duduk di seberang Dignus. "Aku senang melihatmu masih hidup," ujar Sandise, suaranya tenang seakan mengisyaratkan sesuatu di balik kata-katanya.

"Jadi kau berfikir aku akan mati?" Dignus terlihat kesal, matanya memancarkan ketidaksetujuan atas kehadiran Sandise.

Sandise hanya memutar kedua bola matanya sebagai respon atas pertanyaan Dignus yang sepertinya tidak pantas dijawab. Dia berdiri dan melangkah ke lemari yang berada di dekat jendela, lalu dia mengambil bejana kecil dan menuangkan anggur yang terpilih pada dua gelas berbingkai emas.

Setelah itu, dengan sikap yang tenang, dia kembali ke tempat duduknya dan menjulurkan satu gelas anggur untuk Dignus. "Satu gelas anggur sangat baik untuk menghadapi kerasnya dunia ini," ucapnya sambil tersenyum, menciptakan suasana yang terasa lebih menyenangkan namun penuh intrik di ruangan itu.

Dignus menatap gelas yang diulurkan Sandise dengan rasa ketidakpercayaan, namun akhirnya, dia menerima gelas itu dengan satu anggukan singkat. "Baru dua minggu lebih aku tak bertemu denganmu, kau sudah semakin menyebalkan saja," ujar Dignus sambil mendengus kesal.

Sandise selalu membuat Dignus kesal, walaupun begitu hanya dialah satu-satunya yang bisa Dignus percaya.

Lalu matanya menangkap sesuatu dibaju Sandise terdapat beberapa noda warna merah, Dignus yakin itu adalah bekas bercak darah.

"Apa kau menyiksanya?" tanya Dignus, setelah itu meneguk anggurnya, matanya menatap tajam pada Sandise yang duduk di hadapannya.

"Ah, maksudmu ini?" Sandise melirik ke beberapa noda di bajunya dengan santai. Dignus mengangguk sambil meletakan gelas pada meja di depannya, lalu bersandar pada sandaran kursi dengan ekspresi serius.

"Yah, bukankah itu sudah menjadi tugasku?" kata Sandise sambil menepuk-nepuk bajunya seakan merasa bangga dengan pekerjaannya.

"Sebenarnya aku sangat ingin untuk menghajarnya habis-habisan," ujar Dignus dengan nada yang menusuk.

"Aku tahu itu, karena itulah dia kubiarkan hidup," jelas Sandise sambil tersenyum merendahkan.

Dignus tiba-tiba menjadi marah saat mengingat Eran, entah kenapa Dignus merasakan rasa cemburu yang sangat besar. Dalam benaknya, kecurigaan tumbuh bahwa Eran dan Taneaya mungkin memiliki suatu hubungan yang lebih dari sekadar rekan biasa.

"Sebenarnya aku menangih rasa terima kasihmu, karena aku telah menyelamatkanku," ujar Sandise dengan nada yang seakan merendahkan, menyadarkan Dignus dari lamunannya yang gelap.

"Itu sudah menjadi tugasmu, brengsek!" balas Dignus dengan suara meninggi, matanya menyala dalam kemarahan.

Sandise hanya tersenyum, seolah menikmati respons Dignus.

"Brengsek!" pekik Dignus dengan tiba-tiba, membuat Sandise terkejut. Suara keras itu memecah keheningan kamar, dan Sandise berdiri dengan cepat dari duduknya.

"Ada apa? Kau merasa sakit?" tanya Sandise dengan ekspresi cemas, langkahnya mendekati Dignus yang terlihat kesakitan.

Lihat selengkapnya