Peperangan dan Ambisi: Buku 3. Angin Yang Ternoda Dari Barat

Sicksix
Chapter #36

98. Di Penginapan

Kain menghentikan langkahnya, dan perlahan turun dari punggung kuda kesayangannya. Laki-laki pendek itu mendekati sisi gerbang yang tinggi. Tanpa ragu, ia mengetuk-ketuk pos petugas penjaga gerbang dengan sedikit keras.

Tidak butuh waktu lama, jendela pos penjaga itu terbuka, dan penjaga yang berada di dalamnya melihat ke bawah, memalingkan wajahnya ke arah Kain yang tegak berdiri di samping gerbang. Sedikit candaan terselip di wajah penjaga tersebut, seolah menahan senyuman yang ingin meledak. "Ada apa, pria kecil? Bukankah ini terlalu larut untuk berkeliaran? Sangat bahaya untuk orang pendek sepertimu."

Kain merespon dengan tegas, tanpa memberi ruang untuk lelucon berlarut-larut. "Kami hanya ingin bermalam beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanan ke Berillan."

Penjaga itu tetap mempertahankan senyumnya yang lebar, lalu mengacungkan tiga jarinya sebagai sinyal untuk menjelaskan urusan pembayaran. "Baiklah, setuju. Buka gerbangnya," ucap Kain tanpa menunggu lama, lalu dengan mantap, ia kembali mendekati kudanya.

Terdengar suara gemerincingan logam saat gerbang terbuka perlahan. Dua penjaga dengan pelan membuka gerbang tersebut, menghindari kegaduhan yang tak diinginkan di tengah malam yang seharusnya tenang membuka jalan bagi kedatangan Kain dan rombongannya.

Kain menuntun kudanya melewati gerbang yang terbuka, dan sesaat kemudian gerbang itu ditutup kembali dengan hati-hati oleh dua penjaga yang kembali berjaga di posnya masing-masing.

Mereka berlima pun masuk, lalu Kain menghampiri penjaga tadi dan memberi koin yang dia minta.

Malam pun melanjutkan ketenangannya, hanya diterangi oleh cahaya gemerlap bintang dan sorot obor jalan yang perlahan-lahan terus bergoyang-goyang.

"Kapten," ujar Irlof dengan nada ragu, menyusul langkah-langkah kaki kuda Kain yang tanpa henti berjalan di depan mereka, "apakah tidak sebaiknya kita mengikat kuda terlebih dahulu?"

Kain menghentikan langkahnya sejenak, memandang sebentar ke belakang, dan dengan tenang menjawab, "kita bisa mengikat mereka di area penginapan nanti."

Setelah beberapa saat berjalan, mereka akhirnya tiba di depan sebuah bangunan yang terhiasi tulisan besar, "Dofry Inn". Dengan hati-hati, Kain dan rombongannya turun dari kudanya. Tanpa buang waktu, mereka segera mengikat kuda-kuda setia mereka di area yang disediakan.

Setelah itu selesai, mereka memasuki penginapan dengan langkah-langkah penuh kelelahan. Cahaya yang merayap-redup di dalam inn memberikan suasana remang, dan Dofry Inn ini terlihat jauh lebih ramah dan menarik dibandingkan dengan penginapan di Alku. Bangunannya kokoh, terbuat dari susunan batu yang memberikan kesan hangat dan nyaman.

Kain melangkah mendekati meja penjaga yang tampak sepi. Kepalanya melirik ke sekeliling, mencari tanda-tanda kehadiran penjaga inn. Namun, tak seorang pun tampak berada di sana. Tanpa ragu, ia memutuskan untuk mengetuk meja itu, mencoba memanggil penjaga yang mungkin sedang berada di belakang atau dimanapun.

Namun, tak satu jawaban pun terdengar. Kain mengangkat alisnya, sedikit bingung dengan situasi yang mulai terasa aneh ini. Dia kembali menuju tempat Irlof dan kawan-kawannya yang berdiri tak jauh.

"Kita mungkin sebaiknya mencari penginapan lain, Kapten?" usul Dalgin, ekspresinya terlihat khawatir.

"Ini sudah terlalu malam, kita tunggu saja," jawab Kain dengan suara tenang, meski wajahnya tidak bisa menyembunyikan keraguan yang mulai muncul.

Kain kembali mengetuk pintu meja itu dengan nada yang sama, menghasilkan suara ketukan yang sedikit berisiki mengisi ruangan itu. Hingga akhirnya, dengan gemerincing engsel, pintu terbuka dari belakang meja resepsionis.

Sebuah sosok pria tua melangkah keluar dari ruangan itu, matanya menyipit sejenak mencoba melihat keberadaan lima orang muda di seberang meja. Pria itu berhenti sejenak, menepuk-tepuk perut buncitnya yang membesar, dan dengan ekspresi heran, ia berkata, "entah kenapa, semakin hari perutku semakin sulit diajak kompromi, padahal aku hanya meminum beberapa gelas Ale."

"Kurasa itu karena pergantian musim. Perutku juga kadang-kadang seperti itu," jawab Kain, mencoba membuat kesan akrab dengan pria tua tersebut.

Pria tua itu melirik Kain yang berdiri di belakang meja, kemudian dengan gerakan lambat, ia mendekati mereka sambil terus menepuk-tepuk perutnya yang buncit. "Apa ada yang bisa kusiapkan untukmu?" tawar sang penjaga penginapan.

Lihat selengkapnya