"Seperti kabar yang beredar, kau menjadi sosok yang berbeda saat memegang kedua palumu ini," ujar orang misterius yang sebelumnya diserang oleh Kain. Dengan hati-hati, dia memungut kedua palu Kain.
"Perkenalkan, aku Sandise. Jendral dari kota ini," ujarnya dengan senyum kemenangan yang memenuhi wajahnya. Ekspresi Sandise terlihat rasa puas akan kejadian yang baru saja terjadi.
Kain hanya diam, matanya terus mengamati setiap gerak-gerik Sandise. Irlof, Dalgin, Garpo, dan Kana berada dalam situasi yang tak bisa mereka kendalikan; belati yang tajam mengancam di leher mereka, dan segala upaya untuk memberontak hanya akan membawa mereka pada kematian saja.
"Sepertinya aku tak perlu memperkenalkan diri," Kain akhirnya menurunkan kedua tangannya, membiarkan palu-palunya diambil oleh Sandise. "Kau sudah tahu siapa aku, bukan?" lanjut Kain, mencoba meminta kejelasan dari sosok misterius didepannya itu.
"Sebenarnya, aku tak tahu pasti. Aku hanya mendengar selentingan gosip bahwa ada seorang psikopat berdarah dingin di Band of de Sun. Dan aku cukup terkejut, ternyata kau benar-benar psikopat," jawab Sandise, menyampaikan komentarnya setelah sempat melawannya dan melihat aksi Kain dengan kedua matanya sendiri.
"Itu hanya sebutan orang-orang saja," balas Kain dengan tenang, wajahnya terlihat penuh dengan kewaspadaan terhadap situasi yang semakin mencurigakan.
"Hmm ... baiklah." Sandise segera mengambil dua kursi dan menyusunnya berhadapan dengan jarak yang cukup dekat. Dengan gerakan tangan yang terbuka, ia mempersilahkan Kain untuk duduk.
Melihat Sandise merentangkan tangannya, Kain, sambil mempertimbangkan situasi, mengamati wajah pria itu dan bergumam dalam hati, "dia terlihat lebih cocok untuk disebut sebagai seorang psikopat. Apa-apaan dengan ekspresinya itu."
"Silahkan duduk, Kapten Kain," pinta Sandise dengan sopan, memberi isyarat agar Kain menempati kursinya.
Kain mengangguk mengikuti permintaan Sandise, segera menempati kursi yang disediakan. Sandise menyusul, duduk dengan santai di depan Kain, suasana saat ini menjadi semakin tegang dan penuh dengan ketidakpastian, Kain tetap waspada.
"Kita akan berbicara, Kapten Kain," ujar Sandise, suara yang keluar dari bibirnya terasa tenang namun terdengar ada sedikit paksaan disana.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Kain, melipat tangannya di depan tubuhnya, mencoba untuk sesantai mungkin untuk tidak terpengaruh dengan ancaman Sandise.
Sandise melirik ke arah keempat anak buahnya yang masih berdiri diam di tempat. "Maaf, tunggu sebentar, Kapten Kain," ujarnya sambil memberi isyarat dengan mengangkat tangannya dan menjentikkan jari-jarinya.
Seketika itu juga, keempat anak buah Sandise yang mengenakan setelan serba hitam itu menyingkirkan belati mereka dan mundur, lalu berdiri di belakang Sandise. Irlof, Dalgin, Garpo, dan Kana merasakan beban yang melepas dari pundak mereka, merasa lega setelah beberapa menit tadi hanya pasrah dan siap menghadapi kemungkinan terburuk.
Kain, meskipun merasa lega, tetap berada dalam kewaspadaan. Dia tahu bahwa ini bisa jadi hanya bagian dari permainan psikologis yang dirancang untuk mengelabuinya. Kain bersiap untuk menahan segala kemungkinan permainan yang akan dihadapinya.
"Kita bisa berbicara dengan santai sekarang," ujar Sandise dengan senyuman yang terlihat ramah.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Kain, suaranya terdengar penuh dengan kecurigaan.
Sandise melempar sesuatu pada Kain, sebuah kalung yang tergantung di leher laki-laki pendek itu, dan Kain segera meraihnya untuk memeriksanya. Kalung itu memberikan getaran emosi yang kuat pada Kain. Seketika wajahnya berubah, penuh dengan amarah. Kain tahu pemilik kalung ini, dan pekikannya yang ditahan tidak bisa disembunyikan. "Kau!" serunya dengan nada cukup keras.
Matanya melotot tajam ke arah Sandise, dan bersamaan dengan itu, anak buah Sandise bersiap-siap dengan pedang mereka masing-masing.
Sandise mengangkat tangannya dengan tenang, dan seketika itu juga anak buahnya menyimpan pedang mereka kembali, mematuhi perintah pemimpin mereka.