Peperangan dan Ambisi: Buku 3. Angin Yang Ternoda Dari Barat

Sicksix
Chapter #38

100. Pertemuan Lagi

Dengan langkah cepat Dignus melangkah, membuat Taneaya kesusahan untuk mengikuti langkah kakak laki-lakinya itu. Tubuhnya yang terlalu lemah terbawa oleh laju langkah Dignus. Para prajurit dan pelayan yang melihat itu hanya bisa diam tak berani mengganggu, membiarkan dua anak bangsawan itu menyelesaikan urusan keluarga mereka.

"Arggghhh!! Sakit! Dignus!" teriak Taneaya mengisi lorong-lorong bangunan itu, suaranya terhempas ke dinding dan menggema, rintihannya terdengar seperti terperangkap dalam cengkeraman penderitaan.

"Aku akan menuruti kemauanmu, adikku yang cantik," ujar Dignus tak kalah nyaring, suaranya seolah memenuhi ruangan dengan aura tegang di udara. Dia berbicara dengan nada penuh dominasi total.

Dengan langkah tertatih Taneaya kesulitan untuk bergerak, terlebih saat menuruni tangga. Dignus tidak memperdulikan kondisi Taneaya, yang ada dia terlihat semakin menarik kuat jambakannya, hingga membuat adik perempuannya itu merintih. Setiap anak tangga terasa seperti hukuman bagi Taneaya, dan Dignus hanya melangkah tanpa beban, seolah-olah menikmati pertunjukan penderitaan di belakangnya.

Saat sudah berada di lantai satu, Dignus melewati lorong menuju bagian belakang kediamannya, lalu berhenti didepan pintu yang dijaga dua prajurit. Ekspresi terkejut tergambar diwajah mereka yang tegang terlihat ketakutan terhadap tuannya yang terkenal tak bisa ditebak.

"Bawa Eran kesini, tutup matanya!" perintah Dignus dengan penuh ancaman, suaranya seperti guntur yang menggelegar. Tidak menunggu jawaban, Dignus segera menendang pintu didepannya dengan kasar dan melempar Taneaya sampai tersungkur dilantai. Tubuhnya terasa ringkih, mencoba meredam rasa sakit yang merambat di setiap serat ototnya.

"Apa-apaan ini, Dignus!" teriak Taneaya sambil memegangi kepalanya yang perih karena jambakan Dignus tadi. Rambut abu-abu tua panjangnya terasa berantakan, dia merasa sakit dan kebingungan. Dignus hanya tersenyum mengejek, menikmati penderitaan adik perempuannya.

"Kau ingin melihat Eran bukan!? Tunggu disini," ujar Dignus dengan wajah mencurigakan. Matanya menyimpan ketidakjelasan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya, membuat Taneaya semakin merasa terperangkap yang semakin merayap.

Sementara kedua prajurit tadi turun dari lantai satu menuju ruang bawah tanah, dan memasuki sebuah lorong gelap. Suara langkah kaki mereka yang redup terdengar di dalam keheningan, menggiring mereka ke tempat yang paling dihindari oleh semua orang.

"Apa kau ingin bertaruh?" tanya salah satu prajurit, suaranya memantul dalam lorong yang suram.

"Bertaruh?" ujar prajurit satunya dengan mengerutkan dahinya kebingungan, mencoba mencerna tawaran.

"Bertaruh untuk alat apa saja yang akan digunakan Duke untuk menyiksa, kau berani?" lanjut prajurit pertama, senyumnya bermain di bibirnya seolah menantang.

Prajurit kedua menatapnya dengan tatapan penuh ketidakpercayaan, namun rasa ingin tahunya menang. "Baiklah, aku ambil taruhannya. Tapi aku sedikit ragu, Duke Dignus tak mungkin sebarangan menggunakan alat penyiksaannya."

"Tidak ada yang tak mungkin, kawan. Kita sudah cukup lama menjaga ruangan penyiksaan itu, dan kita tahu, dia tak segan untuk memperlihatkan kebrutalan yang ada dalam dirinya," sahut prajurit pertama sambil tersenyum penuh keyakinan.

"Jadi, apa taruhannya?" tanya prajurit kedua, mencoba memastikan bahwa ini bukanlah sekadar omong kosong.

Prajurit pertama tertawa pelan. "Taruhannya sederhana, yang kalah akan mentraktir rum."

Temannya tersenyum mendengar hadiah taruhannya. "Kau menantangku? Kau tahu bukan, jika aku selalu benar dalam menebak itu."

"Kau sombong!" ujarnya membalas dengan nada penuh tantangan.

Salah satu prajurit itu menjawab dengan yakin, "kau akan menyesal nanti. Jadi, persiapkan saja koinmu banyak-banyak hahaha." Gelak tawa mereka memenuhi lorong bawah tanah.

"Kau mengatakan itu seperti yakin akan menang saja!"

"Ya, karena aku tahu alat kesukaannya. Saat aku bertugas membersihkan ruangan itu setelah penyiksaan, ada satu alat yang selalu dia gunakan."

"Alat itu tidak dihitung!" ujar temannya dengan nada protes, mencoba menyusupkan keberatan atas aturan taruhannya.

Lihat selengkapnya