Peperangan dan Ambisi: Buku 3. Angin Yang Ternoda Dari Barat

Sicksix
Chapter #41

103. Ketakutan

Enid dan Markus beraksi bersama, membentuk pasangan yang sangat-sangat kuat. Mereka saling melengkapi, satu melancarkan pukulan dan tendangan. Seiring waktu, prajurit yang tadinya bersikap skeptis mulai mengagumi kepiawaian Enid dan Markus dalam pertarungan.

 Enid dan Markus tetap dapat menahan setiap serangannya dengan lihai. Para prajurit lain yang semula sibuk menyaksikan, kini ikut memberikan sorak sorai saat pertarungan mencapai puncaknya.

Enid, Markus, dan para prajurit berkejaran di lapangan latihan, menciptakan atraksi pertarungan yang seru. Suasana yang awalnya penuh kegaduhan berubah menjadi pesta pertarungan yang meriah.

Enid tertawa dalam kegembiraan. "Kita tidak boleh membuat mereka terlalu nyaman dengan pertempuran yang biasa saja, Markus."

Duel demi duel terjadi, Enid dan Markus benar-benar tak tersentuh. Terdengar teriakan para prajurit yang mengeroyok mereka.

Tidak lama kemudian, sosok Sandise muncul dengan tergesa-gesa dan berlari di tengah keriuhan. Sandise, seorang prajurit terkemuka dari kota itu, datang dengan terburu-buru.

"Pangeran Enid!" serunya sambil berlari menghampiri.

"Berhenti! Berhentilah semua!" teriak Sandise, sambil berlari mendekati Enid dan Markus. Dia membungkuk hormat, memberikan salam kepada Pangeran Enid. "Pangeran Enid, maafkan kekacauan ini. Kami tidak menyadari kehadiran Anda."

Enid tersenyum, menatap Sandise dengan kepala sedikit mendongak. "Tidak masalah, Sandise. Kami datang untuk mencari kesenangan semata."

"Diam-diam anda datang ke kota ini, Pangeran Enid," kata Sandise dengan nafas tersengal-sengal. "Kami tidak menyangka Anda akan hadir di sini.

Enid menatap Sandise dengan tatapan tajam. Bibirnya sedikit menyungging senyum. "Aku terhibur. Mungkin, sedikit kegembiraan saat menguji para prajuritmu," jawabnya dengan nada merendahkan.

Para prajurit di barak itu tiba-tiba terdiam.prajurit yang berdiri di sekitar mereka tampak terkejut. "Pangeran Enid? Ini Pangeran Enid!" bisiknya kepada rekan-rekannya.

Enid mengangguk, menikmati momen keheranan yang muncul di wajah mereka. "Kalian bertarung dengan Pangeran Enid dan Markus tanpa menyadari?" tanyanya sambil tertawa.

Prajurit-prajurit itu saling pandang, wajah mereka penuh ketakutan. Mereka segera menyadari kesalahpahaman besar yang telah terjadi. Jika mereka mengetahui bahwa yang mereka tantang adalah Pangeran Enid, tentu saja mereka tidak akan berani melangkah maju. Pangeran yang terkenal dengan kekejamannya dan sikapnya yang tidak pandang bulu.

Sebelumnya tidak ada yang menyangka, termasuk prajurit-prajurit yang berduel dengan Enid, bahwa mereka sedang berurusan dengan Pangeran Enid sendiri. Jika mereka mengetahuinya, mungkin lebih baik mereka tunduk dan bersujud di hadapannya.

Sandise mencoba menyelamatkan keadaannya dan seluruh prajuritnya. "Pangeran, maafkan kami. Kami tidak tahu bahwa Anda berada di sini."

Enid tertawa pelan. "Tidak apa-apa, Sandise. Kalian memberikan hiburan yang menarik. Sebuah pengalaman yang tak terduga, bukan?"

Markus menyisipkan komentar. "Mungkin ini adalah latihan terbaik yang pernah mereka alami. Sekarang, mereka tahu bagaimana rasanya melawan Pangeran dan saya."

Seorang prajurit berani angkat bicara. "Maafkan kami, Pangeran."

Para prajurit di barak itu terdiam, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Pangeran Enid datang dan secara langsung menghadapi mereka. Beberapa prajurit bahkan merasa kagum dengan keberanian dirinya sendiri karena telah meladeni tantangan dari seorang pangeran sejati.

"Bersujudlah!" perintah Enid dengan suara yang bergetar di antara dinding-dinding barak. "Kalian telah berani menantang pangeran tanpa rasa hormat. Bersujudlah sekarang juga!"

Prajurit-prajurit itu segera menurunkan diri mereka ke tanah, wajah mereka tertunduk ketakutan. Sandise berdiri di samping mereka dengan rasa malu yang terpancar dari wajahnya. "Pangeran, kami sungguh tidak menyadari kehadiran Anda. Ini adalah kesalahan besar."

Enid tertawa. "Bangkitlah, kalian semua. Kami datang untuk mencari kesenangan, bukan untuk menghukum."

Lalu Enid menoleh kearah Sandise. "Antarkan aku ketempat yang mulia, Duke Dignus," ujar Enid sambil memasang tampang mengerikan.

Sandise menjawab dengan cemas. "Tentu, Pangeran. Saya akan segera membimbing Anda menuju tempat Duke Dignus."

Enid dan Markus mengikuti Sandise keluar dari barak, menyusuri lorong-lorong kota Starastok. Rakyat yang berada di sepanjang jalan mengamati dengan penuh keheranan, menyaksikan kedatangan Pangeran Enid yang tak terduga. Beberapa dari mereka berkomentar pelan, mencoba mengerti alasan Pangeran Enid berada di kota mereka.

Dalam perjalanannya menuju istana Duke Dignus, Enid tetap menatap tajam sekelilingnya, memberikan tatapan yang menegangkan pada siapa pun yang memandangnya. Beberapa penghuni kota yang menyadari identitasnya memberi hormat dengan menganggukkan kepala, sementara yang lain hanya berusaha menyembunyikan ketakutannya.

*****

Dignus sudah sibuk dengan aktivitas paginya, dia berada di atas ranjang bersama Taneaya. Setelah puncak kepuasan terakhirnya dia terbaring disamping Taneaya.

Dignus menoleh kearah Taneaya yang terlihat lemah tak berdaya membenamkan wajahnya diatas kasur, lalu dia mengelus rambut adiknya itu. "Kau sungguh nikmat Taneaya," ujar Dignus.

"Maafkan kejadian dua hari yang lalu, walaupun sebenarnya kalianlah yang salah. Tapi setidaknya rasa cemburuku sedikit menghilang," ujar Dignus lalu dia menatap kearah atap-atap ruangan.

"Kau tak boleh menjalin hubungan dengan laki-laki lain, karena kau itu adikku. Akulah yang memilikimu," ujar Dignus sambil menyatakan kepemilikannya, lalu melanjutkan, "aku juga tak habis pikir, bisa-bisanya kau berhubungan dengan kaum rendahan sepertinya. Kau harus bersyukur aku tidak mengulitinya, karena aku kakakmu."

Lihat selengkapnya