Peperangan dan Ambisi: Buku 3. Angin Yang Ternoda Dari Barat

Sicksix
Chapter #42

104. Putus Asa

"Adikku."

Dignus merasa jijik mendengar panggilan itu, dia membalas dengan sopan sapaannya. "Selamat datang, Duke Enid."

"Berikan aku pelukan," ujar Enid sambil memaksa memeluk adiknya itu, meraihnya dengan kehangatan yang dibuat-buat.

"Sepertinya kau kelelahan, kamarmu sudah disiapkan," tawar Dignus, mencoba mengalihkan perhatian.

"Santai saja, tapi tunggu—" Enid memotong perkataannya sendiri. Dia mengendus-endus aroma yang asing pada tubuh Dignus, namun dia sedikit familiar dengan aroma itu. Sesuatu yang tidak semestinya tercium di tubuh adiknya.

"Aromamu sedikit berbeda," lanjut Enid sambil melepas pelukannya, lalu dia menatap Dignus dengan tatapan penuh kecurigaan. "Apa yang sedang terjadi di sini, Dignus?"

Dignus mencoba menyembunyikan ketidak nyamanannya dengan senyuman kikuk. "Ituu mungkin aroma sabun baru yang kucoba, Enid. Kamu tahu sendiri, aku selalu mencoba hal-hal baru."

Enid tidak begitu saja menerima penjelasan adiknya, dia menyelidiki dengan pandangan tajam. "Tidak, ini bukan aroma sabun biasa. Ada sesuatu yang disembunyikan di sini. Apa yang sedang kau sembunyikan dari ku, Dignus?"

Dignus terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Itu bukan sesuatu yang perlu kamu khawatirkan. Hanya urusan bisnis kecil."

"Jangan berbohong padaku, Dignus. Aku tahu ketika sesuatu terjadi," tegur Enid mengingatkan.

Dignus menghela nafas, menyadari bahwa Enid bukanlah lawan yang mudah dikelabui. Hatinya berdebar-debar mencari jalan keluar dari situasi yang semakin rumit. Dalam upayanya untuk mengalihkan perhatian Enid, Dignus berusaha menemukan alasan yang bisa diterima. "Kau tahu, Enid, laki-laki memang memiliki kebutuhan pribadinya yang harus dipenuhi, hal itu sangat wajar, bukan?"

Enid menjawab dengan senyuman yang membingungkan, "ah, aku lupa bahwa kau sudah dewasa, Dignus. Maafkan aku," ujarnya sambil bergerak elegan menuju meja kecil yang terletak di dekat jendela. Dengan penuh ketenangan, Enid menuangkan anggur merah dari bejana kecil ke dalam cangkirnya dan meneguknya.

Sembari menikmati aroma anggur, Enid melanjutkan dengan tatapan yang tajam. "Tapi, apakah kau tahu sebenarnya tujuanku datang ke sini?"

Dengan langkah pelan, Enid menjatuhkan bokongnya di kursi empuk di tengah ruangan, terdengar dentingan lembut. Dignus, mencoba mempertahankan ketenangannya, duduk di kursi di seberang Enid.

"Kau menagih janjimu, bukan?" ujar Dignus dengan sedikit kegugupan.

Enid tertawa kecil, mengisi ruangan dengan keceriaan yang kontras dengan ketegangan yang terasa. "Aku berharap kau sudah lupa, Dignus. Agar aku bisa memuaskan rasa kecewaku padamu," ucapnya sambil tersenyum penuh teka-teki.

Dignus terlihat marah, namun ia dengan susah payah menahan diri setelah mengingat kata-kata Sandise yang terus berputar di kepalanya menyerukan ketenangan dalam situasi genting ini.

"Aku berhasil menangkapnya," ujar Dignus dengan nada serius.

"Hmm ... benarkah? Anak Kaisar? Si pendek Fire? Atau ...." Enid memutuskan kata-katanya sejenak, keheningan menakutkan menyeruak, lalu melanjutkan dengan wajah menyeringai yang penuh ancaman, "atau adik kita yang cantik?" ucapnya sambil memasang ekspresi yang mengerikan.

"Bukan," jawab Dignus tegas, mengubah pandangan tegangnya menjadi sikap tegas.

Enid mengernyitkan matanya, mencoba membaca ekspresi adiknya.

Lalu Dignus melanjutkan, "Eran, dia adalah salah satu petinggi di Band itu. Dia yang menjalankan misi itu," jelaskannya, memberikan penegasan pada pernyataannya sebelumnya.

"Benarkah? Aku belum pernah mendengar namanya."

"Kau bisa menanyakan langsung padanya jika tak percaya," sahut Dignus.

Lihat selengkapnya