Peperangan dan Ambisi: Buku 3. Angin Yang Ternoda Dari Barat

Sicksix
Chapter #43

105. Pembicaraan Orang Dewasa

Eran sudah berada di dalam penjara kerajaan, ruangan yang suram dengan dinding batu yang dingin, atmosfernya terasa penuh tekanan. Beberapa saat yang lalu, dua prajurit dengan kasar menyeretnya dari penjara bawah tanah ke sel pertama kali dia dibawa.

Eran kembali mengingat saat pertama kali dia datang di tempat ini. Bagaimana negosiasinya dengan Sandise, pria licik yang bermain dalam bayangan. Eran tidak melupakan setiap pukulan dan tendangan yang mendarat di tubuhnya saat pertemuan itu; kelak, dia bertekad untuk membalas setiap pukulan itu pada Sandise.

"Apa dia akan menepati janjinya?" gumam Eran dalam hati, matanya terlihat sayu saat memikirkan itu. Pertanyaan itu membuatnya penasaran, dan meski terikat oleh besi dingin di penjara dan tak bisa melakukan apapun, Eran berharap Sandise memegang janji untuk menyelamatkan Taneaya.

Seketika hatinya terasa ngilu saat mengingat nama itu, Taneaya, sosok yang membuatnya merasa hidup. Mungkin benar yang dikatakan Kain saat dibukit di dekat camp mereka di Alku. "Apa kau sudah bisa merasakan cinta?" Perkataan Kain itu terngiang-ngiang di kepala Eran, dan saat itulah dia menyadari betapa Taneaya telah merasuki setiap bagian dari hatinya.

Eran duduk termenung di sudut sel, membayangkan wajah Taneaya dan berharap bahwa Sandise akan memenuhi janji untuk menyelamatkannya. Setiap detik terasa sangat begitu lama, namun keingintahuannya tentang nasib Taneaya membuatnya tak bisa diam.

"Saat kau merasa tak terkendali dan menangis karena melihat seseorang tersakiti, itu berarti, kau memiliki perasaan yang lebih terhadap orang itu." Perkataan Kain lainnya mencuat di kepala Eran seperti mantra penyembuhan, mengulangi pesan tentang emosi yang mungkin disebut cinta.

Eran, di tengah pertarungan batinnya, tak mengerti sepenuhnya apa itu cinta. Namun, semua yang Kain katakan terasa seperti sinyal dari hati nurani, mengarah pada sesuatu yang lebih dalam.

Hancur, begitulah yang Eran rasakan saat ini, mengingat kejadian naas beberapa hari yang lalu yang masih membekas dalam ingatannya. Hanya dengan mengingat namanya saja, kejadian itu berputar-putar kembali, melibatkan emosi dan rasa takut yang sulit diatasi. Tanpa sadar, airmatanya kembali menetes di dalam penjara dingin itu.

Setelah kejadian itu, Eran tersadarkan akan kerentanannya, seolah dipukul keras oleh kenyataan. Dia sadar bahwa dirinya masihlah lemah. Dia tidak bisa melakukan semuanya sendiri; dia butuh teman-temannya. Eran merasa bayangan yang memenuhi kepalanya seperti ditarik pergi setelah suara tawa Dignus terdengar disebrang sel penjaranya.

"Dia menangis. Sebenarnya apa yang kau lakukan padanya, Dignus? Sampai dia terlihat kacau, seperti orang gila saja."

Dignus hanya mengangkat bahu dengan santai. "Aku hanya mencontoh apa yang kau lakukan padaku dulu, Enid," jawab Dignus dengan nada sarkas yang terkadang melebur dengan rasa puas, seperti senyum yang terukir di bibirnya adalah kepuasan atas kejadian yang sudah terjadi.

Enid, dengan senyum mengerikan yang melekat di wajahnya, merangkul Dignus erat. "Kau merasa puas bukan?" bisik Enid penasaran, mencoba mencari tau kegembiraan atau ketidakpuasan yang Dignus rasakan saat itu.

Dignus mengangguk, membiarkan senyumannya terlihat lebih jelas, lalu menjawab, "sangat puas. Itu membuatnya belajar, seperti aku belajar dulu."

Enid melepas rangkulannya dan mendekat ke arah penjara yang menahan Eran, wajahnya penuh pertanyaan. "Kau menyerahkan orang ini padaku, setelah kau menyiksanya?" Enid menoleh ke belakang pada Dignus, senyumnya kini berubah menjadi tatapan tajam, "apa itu pantas?"

Dignus tiba-tiba terkejut, merasa adanya ancaman dalam pertanyaan Enid, namun ia memilih untuk menjawab dengan tenang, "dia itu kuat, sangat kuat, aku berani menjamin itu, karena itu aku melemahkannya," jawab Dignus mencoba mempertahankan kedudukannya.

Pandangan Enid kembali lagi pada Eran yang duduk lemas bersandar pada dinding penjara. Enid menatap Eran, meneliti detail tubuhnya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak asing dengan wajah Eran, seperti dia sudah mengenalnya lama, meskipun belum pernah bertemu secara langsung.

Lalu, Enid tersentak saat melihat kilau cahaya memantul ke arahnya. Matanya fokus pada benda yang menggantung di kalung Eran. Kilauan itu membuka memori lamanya, dan ekspresi wajah Enid berubah menjadi campuran antara keterkejutan dan ketidakpercayaan.

Enid berdiri tiba-tiba dan menoleh pada Dignus. "Tinggalkan kami, aku ingin berbicara dengannya," pinta Enid dengan nada tegas, menyiratkan bahwa ada urusan pribadi yang ingin dia ungkapkan kepada Eran.

"Baiklah," ujar Dignus, lalu meninggalkan mereka.

Enid berkata dengan tak percaya, "Bagaimana mungkin? Itu tidak mungkin kan?"

Enid melangkah menuju meja, mengambil ceret perunggu dan membawanya. Lalu ia melangkah mendekat dan masuk kedalam penjara. Enid terlihat benar-benar tak percaya.

Dia menangkup dagu Eran dan membuka mulutnya lalu menuangkan ujung ceret yang berisi air kedalam mulut Eran. Dengan cepat, jakun Eran bergerak naik turun, menerima kucuran air itu.

Eran terbatuk setelah merasa tenggorokannya dibasahi oleh air segar. Lalu dia kembali bersandar pada dinding penjara itu, dia melirik orang didekatnya, dengan mata yang sayu dia memfokuskan pandangannya.

"Kau, brengsek! Kau—" Eran menghentikan amukannya setelah sadar orang dihadapannya bukanlah Dignus.

"Aku Enid," jelasnya saat melihat keterkejutan Eran.

Eran menatap Enid, mencoba meneliti wajahnya. Dan dia menyimpulkan jika Enid lebih mirip dengan Taneaya daripada Dignus.

"Jadi kaukah pangeran pertama pewaris tahta Kerajaan Satascar?" tanya Eran mencoba menguasai pikirannya.

"Beruntungnya seperti itu," jawab Enid dengan angkuh.

"Aku tidak bisa memberimu penghormatan," lalu Eran mengangkat kedua tangannya dengan susah payah dan melanjutkan, "lihatlah diriku saat ini," ujarnya sembari tersenyum dengan tragis.

"Aku akan menagih itu nanti," ujar Enid, lalu dia berdiri keluar dari penjara itu, mengambil satu kursi dan meletakannya di depan Eran. Sebelum itu Enid melepaskan dua manacles yang membelenggu kedua kaki dan tangannya, lalu Enid duduk dikursi tadi.

Eran terkejut kaget melihat apa yang telah Enid lakukan padanya. "Terima kasih, Pangeran," ucap Eran. Sebenarnya Eran sedikit waspada dengan orang di depannya. Karena banyak orang yang memberitahunya orang seperti apa Enid itu.

"Baru kali ini aku mendengar ucapan terima kasih dari orang yang beberapa hari kedepan akan kusiksa," kekeh Enid tak percaya.

"Aku menantikan semua itu," ujar Eran tersenyum.

"Kau menarik, Eran," ujar Enid.

Eran tersenyum. "Entah kau orang yang keberapa mengatakan itu."

"Baiklah, aku langsung ke intinya," Enid menopang dagu pada tangannya, lalu melanjutkan, "apa kau tau kenapa aku ada disini?"

Eran menjawab dengan santai. "Aku tau, karena gudang pelacurmu di Desa Hollowfield bukan?"

Enid terkejut, lalu tertawa terbahak-bahak. "Sial, sial. Baru kali ini ada orang yang berani menatapku tajam. Kau semakin menarik saja."

"Lalu apa yang akan kau lakukan padaku?" tanya Eran.

Lihat selengkapnya