Pemandangan bukit hijau dan sungai-sungai kecil yang mengalir tenang terlihat memukau. Sinar matahari mulai mengintip, kali ini tidak dengan malu.
Terbangun dengan sinar matahari pagi yang menyembul dari balik tirai jendela kereta kuda, cahaya tersebut memeluk tanah Satascar dengan lembut.
Perjalanan dimulai menuju ke selatan, dengan jalur yang mengarah ke Desa Brinetide. Tampak di sebelah kiri pepohonan hijau dan suara aliran sungai Tossing Rill yang mengalir deras tak kenal lelahnya.
Puncak tertinggi menyambut dengan pemandangan yang menakjubkan, membiaskan mata hingga melibatkan pikiran dalam keindahan alam yang terbentang luas. Angin yang berhembus sepoi-sepoi menemani penikmat pemandangan, menyampaikan pesan ketenangan dan keajaiban.
"Apa lukamu masih terasa perih?" tanya Enid.
Eran yang duduk di hadapannya menoleh, setelah sedari tadi hanya melihat pemandangan di luar, lewat jendela kereta kuda.
"Sakitnya berkurang, daging busuknya sudah dibuang, kau melihatnya bukan?"
"Sebenarnya aku berharap tabib itu tak membuang bagian yang busuk. Aku penasaran apa yang akan terjadi jika tubuh manusia yang masih hidup mengalami pembusukan," jelas Enid penasaran.
"Rasa ingin taumu benar-benar liar, diluar nalar manusia normal. Pantas saja kau dijuluki Pangeran Sadis," jelas Eran.
"Pangeran Sadis ya. Aku tak sesadis yang mereka bilang, itu hanya opini yang liar saja."
"Sanggahanmu itu juga hanya opinimu." Jelas Eran.
"Bagaimana dengan pendapatmu tentangku?" tanya Enid penasaran.
"Kau sadis," jawab Eran cepat tanpa perlu berfikir.
Enid tertawa mendengar jawaban Eran. "Yah, terserah saja. Aku tak sesadis itu, buktinya kau masih hidup."
"Mungkin aku hanya beruntung saja," ujar Eran.
"Yah terserahmu saja, beristirahatlah, perjalanan masih panjang."
Eran melirik curiga pada Enid.
"Tenang saja, aku bukan seorang pengecut. Aku akan senang menusukmu sekarang daripada menyerangmu diam-diam saat kau tidur," jelas Enid sambil terkekeh.
Eran mendengus, lalu bergumam kecil. "Bajingan sadis."
Perjalanan mereka masih terus berlanjut menuju kota Petrolina. Markus terlihat memacu kudanya mengikuti kecepatan kereta kuda yang ia jaga.
Kota-kota dan desa-desa di belakang sudah jauh, terlihat seperti miniatur, menunjukkan betapa luasnya wilayah dataran Satascar ini. Di sini, waktu terasa melambat, memberikan kesempatan untuk merenung dan terhubung dengan keindahan alam yang maha kuasa.
Perjalanan mulai sedikit landai membawa mereka memasuki sebuah lembah, menyusuri ladang dan hutan alami yang indah. Lembah Cantre sebuah destinasi yang memukau.
"Dimana ini?" tanya Eran memecah keheningan, sambil terus menikmati sajian yang memanjakan matanya.
"Lembah Cantre," jawab Enid tenang.