Peperangan dan Ambisi: Buku 3. Angin Yang Ternoda Dari Barat

Sicksix
Chapter #50

112. Izin

"Ah ..." gumamnya pelan sambil membuka matanya dengan berat.

"A ... air."

Seketika gadis yang tertidur di samping ranjang terbangun mendengar suara serak itu. Matanya membulat lalu bergegas mengambil air di cawan perunggu.

Lalu dia mendekatkan diri pada gadis yang terlihat rapuh itu. Dengan perlahan dia membantunya untuk minum. 

"Minumlah, Tane."

Setelah selesai minum Taneaya kembali berbaring, dengan berat dia menolehkan kepalanya kearah wanita yang membantunya itu.

"Cata ..." bisik Taneaya terbata, bersamaan dengan itu airmatanya keluar seketika tanpa memberi tanda.

Catallina pun memiringkan badannya dan memeluk erat Taneaya. Dengan pelan dia mengelus kepala Taneaya. Dia dapat merasakan detak jantung Taneaya yang berdetak kencang, di iringi suara jerit tangis terisak-isak.

"Tenanglah, Tane. Aku di sini, kau aman. Kau aman sekarang Tane," ujar Catallina mencoba menenangkan Taneaya.

"Aku takut ... aku—" Taneaya tak dapat menyelesaikan ucapannya, dadanya terasa sakit, tenggorokannya cekat.

Catallina terus memeluk Taneaya seperti bayi. Tanpa sadar dia juga meneteskan airmatanya, kejadian enam tahun lalu berulang kembali, saat Taneaya yang baru bergabung dengan de Sun terlihat begitu rapuh dan traumatis. Butuh satu tahun untuk menyembuhkannya, namun kali ini Catallina berharap agar tidak parah seperti dulu.

Saat ini dia sangat marah dengan Dignus. "Bajingan Dignus, bocah ingusan sialan! Berani sekali kau membuat Taneaya menjadi seperti ini lagi! Aku akan membunuhmu, bajingan!" umpat Catallina di dalam hatinya.

Lalu tak lama, suasana menjadi hening, isakan tangis Taneaya sudah berhenti. Dengan lembut Catallina melepas pelukannya. Wajahnya menatap Taneaya yang tertunduk.

"Tane, apa kau mau istirahat?" tanya Catallina.

Taneaya terus menunduk, lalu menggeleng. 

"Bagaimana dengan nasib Eran?" gumam Taneaya pelan. "Entah sudah berapa kali dia menderita karena perbuatanku."

Catallina tersenyum getir, dia juga bingung harus menjawab apa. Dia bingung bagaimana Enid sekarang, jika benar seperti yang Kain bilang, Eran sudah pasti mati atau cacat.

"Tenang, Tane, aku yakin Eran akan aman bersama dengan Enid," ujar Catallina sambil mengelus-elus kepalanya Taneaya. 

Saat ini Taneaya meringkuk pada Catallina yang terlihat bersandar pada punggung ranjang.

"Aku harap Enid tidak membunuh Eran. Aku tau Enid tidak akan pernah menyakiti seseorang jika dia tidak bersalah. Tapi ..." Taneaya menggantung ucapannya, lalu melanjutkan, "kita telah mengganggunya, jika saja aku tau lebih awal. Mungkin aku bisa mencegah semua ini dari awal."

"Tenang, Tane. Kita percaya Eran pasti bisa menangani Enid. Entah bagaimana caranya," ucap Catallina yakin.

"Apa yang harus kita lakukan, Cata?" tanya Taneaya sambil masih meringkuk memeluk tangan Catallina.

"Jika kau sudah tenang, mari kita berbicara bersama Theo dan lainnya. Aku butuh informasi tentang Enid."

Seketika Taneaya bangun, dan duduk lalu menatap Catallina. "Ayo kita lakukan sekarang," ujarnya yakin.

Catallina tersenyum lalu menggeleng. "Tidak, jangan sekarang. Kau harus menenangkan pikiranmu terlebih dahulu. Kau belum stabil, Tane," ujar Catallina.

"Tidak, aku tidak apa-apa, Cata," sanggah Taneaya dengan yakin.

"Aku tau dirimu, Tane. Keadaanmu sekarang mengingatkanku pada dirimu enam tahun yang lalu, jadi tenangkanlah dirimu terlebih dahulu," jelas Catallina dengan khawatir.

Taneaya tertunduk lesu, dan kembali menangis, Catallina memeluknya lagi mencoba menenangkan.

Setelah tenang kembali, Taneaya mengikuti Catallina, bersandar pada punggung ranjang. "Aku tidak separah dulu, Cata. Memang benar, aku masih merasa trauma, tapi tidak separah dulu," ujar Taneaya.

"Benarkah?" tanya Catallina ragu.

Taneaya mengangguk. "Entahlah, aku sudah tidak terlalu takut padanya. Bahkan aku bisa melawannya. Walaupun dia menambah luka baru di batinku," jelas Taneaya.

"Sialan anak itu, kalau saja aku bertemu dengannya, aku tak akan ragu menusuknya," umpat Catallina.

Taneaya menoleh kearah Catallina dan tersenyum. "Bukankah kau tak terlalu dekat dengannya?" tanya Taneaya.

"Dia selalu bersamamu dulu. Apakah Enid tau tentang semua yang dilakukan Dignus padamu?" tanya Catallina penasaran.

Taneaya terlihat berfikir. "Aku tak yakin, tapi dia sepertinya tau. Aku tak begitu dekat dengan Enid. Tapi aku bisa merasakan jika Enid tau segala hal tentang kami," jelas Taneaya.

"Yah, dia adalah gambaran yang sempurna seorang yang perfeksionis, dominan dan penuh kendali. Tapi aku masih tak tahu, kenapa dia dulu tega menyiksa Dignus," ujar Catallina penasaran. "Aku juga tidak tau jalan pikiran Enid. Untuk sekarang aku setuju dengan segala tindakan Enid di masa lalu terhadap Dignus."

Lihat selengkapnya