Tendang menendang, terus menendang. Tak kenal lelah, menelusuri jalan setapak. Tak butuh arah, naluri yang berkehendak. Berputar, terus berputar. Waktu tak pernah mau mati, apalagi menunggu kita yang raga nya ditelan gengsi tinggi.
Manusia dengan egonya, berkeliling diatas tanah petrichor. Mengendap-endap bagai pencuri yang dikejar ribuan warga. Berjalan dengan isi kepalanya masing-masing, juga menggenggam perasaan seribu sayang untuk orang-orang yang selalu berada pada kalimat doa nya.
Lagi, buku usang itu berhasil menyita seluruh ragaku. Lagi, aku kembali pada memori tua yang harusnya aku tutup rapat-rapat. Yang seharusnya tak boleh kubuka lagi. Yang harusnya kubakar hingga menjadi abu bekas api.