Swastamita

moran. a
Chapter #2

Satu: Ini Bukan Tentang Takdir

Dibawah hamparan itu, dibawah naungan jutaan awan perkasa yang lembut tiada tara. Aku bergulat dengan egoku, memikirkan seribu satu rencana agar bisa memperbaiki semuanya. Aku disana, Bulan. Aku menghampirimu, menuju kearahmu. Menemuimu dengan satu juta tanda tanya yang aku yakin kini bersarang didalam kepalamu. Aku akan menjelaskannya nanti, Bulan. Aku janji.

Di sana terpampang nyata. Sebuah tempat yang selalu menjadi saksi bisu adanya perpisahan antar jarak, yang dapat memecah keyakinan dan kepercayaan ribuan manusia muda. Aku menuruni kabin pesawat, berjalan terseok-seok sembari menggendong tas ranselku yang ternyata cukup berat. Suara bising terdengar di mana-mana, pusat informasi dalam labirin bandara itu bising sekali. Aku menatap sekelilingku, berlalu lalang para manusia dengan isi kepalanya, melepas kepergian kerabatnya dengan tatapan paling menyayat hati. Aku meringis. Kau tahu bukan, kalau aku paling tidak suka dengan kalimat perpisahan?

Aku berjalan dengan ransel di punggungku, menanyai petugas jaga yang saat itu berada di pintu terminal bandara. Ia menunjukkan puluhan taksi bandara yang siap mengantarku pulang kerumahku.

Rumahku? Kau masih menjadi rumahku, kan? Kau masih menetap bersamaku, kan? Aku sudah kehilangan ragaku Bulan, jangan sampai aku kehilangan rumahku

Aku menuju salah satu dari puluhan taksi itu. Pak Sopir tersenyum kepadaku, lalu mengangkat ranselku dan memasukkannya kedalam bagasi. Aku duduk disamping kursi kemudi, lalu ia datang dan menduduki kursi sebelahku.

"Mau kemana, Mas?"

Aku diam. Aku tak tahu harus menjawab apa pada kepada Pak Sopir itu. Aku termenung cukup lama, kerutan bingung terlihat jelas sekali didahi Pak Sopir baik hati itu.

Namun, sebuah kota menyita pikiranku. Sebuah kota yang berisi cerita panjang antara aku dan kamu nantinya. Sebuah kota yang akan menjadi saksi pertikaian dan perdamaian hebat antara kita. Kota yang penuh kejutan.

"Sudirman, Pak."

***

Aku menatap rumah sederhana di depanku. Membaca kembali secarik kertas lusuh yang selalu kusimpan rapat dikantung baju kananku. Aku tersenyum, alamat yang kutemukan tepat pada tujuanku. 

Ada bel lusuh diantara pintunya. Aku menekan bel rumah berbunyi nyaring itu, menunggu manusia pemilik rumah dengan perasaan membuncah. Aku tersenyum cerah. 

Pintu terbuka. Menampilkan wajah wanita tua yang paling kusayangi di dunia. Wanita paling sabar dan wanita setelah kamu yang berhasil membuatku percaya pada mimpiku sendiri. 

“Dewa? Ini Dewa anak Ibu?” 

Mata perempuan itu menatapku dengan tak percaya. Linangan air mata memenuhi netra sebening air itu. Aku menjatuhkan ranselku, memeluk sosok perempuan didepanku ini. Erat sekali. 

“Iya, Bu. Ini Dewa,” kataku sembari melepaskan pelukan hangat itu. 

Ibu menatapku dari ujung rambut hingga ujung sepatuku. Ia terlihat bahagia. 

“Inggris merubahmu menjadi pria tampan, Nak.” ujarnya sembari terkekeh pelan. 

Aku ikut tertawa, “London tidak merubahku, Bu. Aku yang merubahnya,” balasku 

Ibu semakin tertawa. Ia mengusap surai hitamku lembut lalu mengajakku masuk ke dalam. 

Aku menaruh tasku ke sembarang arah. Lalu duduk dikursi makan, menatap punggung perempuan yang sedang mencicipi hasil masakannya. Aroma menyeruak , aku terlena. Aroma masakan Ibu memang tak pernah ada tandingannya. 

“Kok ngga bilang mau pulang ke Indonesia?” tanya Ibu 

Aku melepas jaket biru gelapku, lalu membalas pertanyaan itu, 

“Kenapa harus bilang Ibu?” 

“Ya supaya Ibu bisa menyiapkan kedatanganmu,” 

Aku tersenyum menatap perempuan yang masih memunggungiku itu, “Tidak perlu, Bu. Anggap saja ini sedikit kejutan kecil dariku yang akan jarang Ibu dapatkan,” 

Ibu tertawa lalu menuju kerarah meja makan. Menaruh lauk serta nasi nya, aroma itu semakin mengusik perutku. 

“Lain kali jangan seperti ini,” kata Ibu sambil terkekeh

Aku tersenyum dan memilih mengambil porsi nasi serta laukku. Ibu duduk dikursi depanku. Menatapku lembut sekali. 

Aku makan dengan perlahan , menikmati masakan paling enak senusantara itu. 

“Bulan,” 

Pergerakanku terhenti ketika Ibu menyebut namamu. Aku menatap Ibuku dalam, berusaha menembus pandangan Ibuku yang semakin redup saat menyebut namamu itu. 

“Dia me—“ 

“Dia sudah berhenti mengirimi aku surat, Bu. Kami sedang bertengkar karena aku tak kunjung mengabarinya,” 

Perasaan itu menyusup dadaku. Perasaan khawatir , takut dan cemas menjadi satu. Hanya karena namamu, Bulan. Hanya karena kamu. Aku kalut, sudah tak berselera makan lagi. 

“Jangan menyia-nyiakan perasaannya, Nak. Ia tulus,” 

Aku bergeming. Sungguh Bulan, perasaanku kacau. Aku tak bisa berhenti memikirkan kondisimu saat tak mendapat kabarku. Kamu pasti menangis, ya? Kamu kecewa kah? Sudah aku bilang, jangan pernah tangisi aku. Air matamu terlalu indah. 

Aku menunduk. Ibu masih setia menatapku. 

“Dimana Bulan, Bu?” 

Ibu tersentak, “Ibu tidak—“ 

“Aku mau ketemu Bulan,” 

***

Memang ego manusia tak bisa dikendalikan. Keras kepala menjadi satu-satunya kelemahan manusia. Amarah menguasai, kepala menjadi sepanas bongkahan api. Tak bisa berpikir. 

Setelah Ibu memberi tahu dimana kamu, aku langsung mengganti bajuku menjadi baju yang lebih layak. Aku sadar bahwa kini yang akan kutemui bukan manusia, melainkan bidadari.  

Tidak, jangan tersenyum begitu. Nanti banyak orang yang suka padamu kalau kau memperlihatkan senyum manis itu. Aku tak mau pesaingku bertambah banyak. 

Ibu berpesan bahwa aku harus hati-hati terhadap sekitarku. Tapi aku tak bisa, Bulan. Pikiranku dipenuhi olehmu, aku tak peduli bahkan untuk keselamatanku sendiri. 

Aku menaiki bus kota yang kebetulan lewat saat aku duduk dihalte. Aku mencari tempat duduk dekat jendela bus. Angin menyeruak masuk ke dalam bus yang gerah, menari-nari dihelaian rambutku. 

Mau tahu satu hal? Sejujurnya saat ini aku tidak tahu mau kemana. Aku bingung sekali. Aku tak mengenal Jakarta sebaik aku mengenal London. Aku tersesat. 

Namun aku percaya bahwa intuisiku bisa membawa aku kepada kamu. Aku tak peduli dengan Ibu yang bahkan tak menyebutkan tempat tinggalmu. Aku hanya diberi satu petunjuk oleh wanita lembut itu. Kantor Pos. 

Lama sekali perjalanannya. Orang-orang berlalu lalang didepan pintu masuk bus, ada yang naik ke dalam dan turun di tujuan. Aku memandang sekitar. Kau tahu? Ada dua orang di depan kursi bus sana, mereka berdiri. Memegang ukulele kecil dan sebuah kantung plastik bekas permen, lalu bernyanyi dengan suara keras yang, jujur saja, membuatku sangat pusing. 

Mereka bertato, Bulan. Seram sekali kalau dilihat-lihat. Bajunya koyak sana-sini, begitu pula celana yang dipakai mereka. Aku menyangka celana itu tak dicuci tiga bulan, karena sungguh, celana itu kotornya bukan main. Kamu pasti terkejut bila melihatnya. Oh, dan jangan lupakan rambutnya. Rambut itu menjulang keatas dengan model punk lalu dicat dengan warna ungu dan kuning. 

Lihat selengkapnya