Swastamita

moran. a
Chapter #3

Dua: Perdebatan Jiwa dan Raga

Tahun kedua aku di Indonesia. Sedih sekali karena bulan depan aku akan kembali ke Inggris untuk melanjutkan pekerjaanku. Aku harap kamu bisa mengerti. 

Peristiwa ditahun pertama malam itu membuatku berpikir ada sesuatu yang mencegahmu untuk mempercayaiku, Bulan. Aku kecewa sekali denganmu malam itu. 

Namun, rasa kecewa yang teramat singkat itu beralih menjadi perasaan bahagia saat esok harinya kamu datang ke rumah Ibu dan membawakan sekotak kue bolu cokelat dari Mamamu. 

“Dewa, ada Bulan datang,” 

Aku yang saat itu masih berada diatas kasurku dengan selimut sedada itu mengernyitkan dahi. Nyawaku belum terkumpul sepenuhnya. 

Jangan katakan aku pemalas, ya! Kamu saja yang waktu itu datangnya terlalu pagi...

“Bulan? Sedang apa dia ke sini, Bu?” 

Ibu tersenyum lalu mengusap suraiku, 

“Ingin bertemu kamu katanya,” 

Tahu apa yang selanjutnya terjadi? Aku bangkit dari kasur dan berlari menuju kamar mandi. Bahkan durasi mandiku dipercepat dan hanya menghabiskan waktu empat menit lamanya. 

Sekarang kamu tahu seberapa pentingnya pengaruh kehadiranmu di sisiku kan? 

Jangan memasang wajah malu seperti itu. Kamu kelihatan manis, nanti jantungku berdebar. 

Aku menemuimu setelah berganti pakaian. Berjalan kearah ruang tamu ditempat kamu berada. 

Dan, ajaib. Kamu menyihirku, Bulan. Kamu, dengan rok sederhanamu dan kaus putih itu membuat napasku tercekat. Bahkan rambut favoritku itu kini terkuncir rapi di belakang kepalamu. 

Cantik. 

“Dewa,” 

Oh, dan jangan lupakan suara lembutmu yang semakin membuat aku terlena di tempatku berdiri. Astaga Bulan, kamu memang bidadari. 

“Pagi sekali datangnya. Kukira mau di jemput saja,” 

Baik. Aku berusaha setenang mungkin menghadapi kamu dan sejuta hal yang membuatku tersihir. 

Kamu terkekeh, “Kamu ngga bilang mau jemput aku, Dewa.” 

Suasana canggung. Ibu tertawa di belakangku , kamu juga terkekeh lembut, dan aku menggaruk tengkuk leherku tidak nyaman. 

“Ah, iya...” 

Kamu menggelengkan kepalamu. Sepertinya sedikit terhibur dengan tingkah konyolku tadi. 

Jangan tersenyum lagi! Aku menulis ini dengan perasaan malu kalau kamu mau tahu! 

“Ini kue bolu dari Mama. Dia bilang mau bertemu denganmu secepatnya,” 

“Hari ini boleh tidak?” 

“Boleh ngapain?”

“Bertemu Mama tentu saja,” 

Kamu melebarkan matamu, sepertinya terkejut

“Jangan hari ini!”

“Kenapa?” 

Lalu kamu mendekatiku. Berbisik lirih ditelingaku. 

Mau tahu apa yang aku rasakan saat suara indahmu mengalun pelan di telinga kananku? 

Perutku serasa dihantam seribu kupu-kupu, bulu tubuhku meremang, dan aroma tubuhmu merasuki jiwaku. Untuk kesekian kalinya, aku tersihir secara magis oleh seorang perempuan bernama Bulan Purnama. 

Ah, kan sudah kubilang jangan senyum begitu. 

“Hari ini tidak jadi jalan-jalan dong kalau kamu ke rumahku?” bisikmu lirih 

Aku menahan tawa mendengar permintaanmu. 

 “Ah, kamu mau jalan-jalan?” balasku ikut berbisik lirih

Lalu kamu memukul lenganku dengan muka memerah

“Kok kamu jadi ikut berbisik?!!” teriakmu kesal

Akhirnya, aku tertawa. Lucu sekali melihat wajahmu yang memerah itu, sungguh. 

“Sudah-sudah, jadi pergi tidak?” 

Itu Ibu. Ia tiba-tiba menyeletuk ketika kamu selesai meneriaki aku. 

Kamu terlihat kaku saat Ibuku tiba-tiba menyahut seperti itu. 

Terkejut lagi, ya?

“Iya, Bu. Mau berangkat kok,” jawabku 

Akhirnya aku menaruh kotak pemberianmu di atas meja makan dan kita menyalimi Ibu sebelum berangkat. 

Sampai di depan teras... 

“Dewa, kita mau pergi naik apa?” 

Aku yang sedang memakai sepatuku itu menengok kearahmu yang sedang berdiri disampingku

“Kamu maunya naik apa?”

“Kok malah nanya sama aku?” 

Aku terkekeh kecil, “Ya gapapa, lagian aku cuma tanya kok.” 

Kamu terlihat jengkel, tapi sungguh, itu pemandangan paling menggemaskan yang pernah aku lihat. Hari itu kamu banyak kesalnya, Bulan. Aku senang sekali melihatnya. 

Selesai memakai sepatu lusuhku, aku mengambil tanganmu yang menggantung diudara kemudian menggandengmu erat. Masih ingat kemana aku membawamu pergi? 

Ya, halte. 

*** 

Lihat selengkapnya