Selama tiga belas tahun berdakwah di Mekkah, respon yang diberikan masyarakat Quraisy terutama dari para pemukanya adalah penolakan. Semakin hari penolakan yang diberikan oleh Abu Jahal dan koleganya kepada Rasulullah SAW dan kaum muslimin semakin intens. Penghinaan, intimidasi, penyiksaan, mereka lakukan setiap hari. Mereka baru tersadarkan, gerakan yang semula mereka anggap hanya ‘gigitan nyamuk’ ternyata arus yang bergelombang. Gelombang yang kian hari semakin membesar, sehingga sanggup menerjang hegemoni mereka di tanah Quraisy.
Kebencian mereka semakin memuncak saat beberapa kalangan yang setara dengan mereka, memilih bergabung bersama Rasulullah SAW. Sebut saja Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khaththab. Kebencian memuncak ini menghasilkan keputusan untuk memboikot kaum muslimin, termasuk kepada Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Pemboikotan secara ekonomi dan sosial itu mereka lakukan selama tiga tahun.
Semua peristiwa tersebut membuat Rasulullah SAW berpikir untuk keluar dari Mekkah. Selain untuk menyelamatkan kaum muslimin dari ancaman orang-orang Quraisy, juga mencari tempat baru sebagai base camp penyiaran dakwah Islam.
Pilihan tempat baru itu jatuh ke Yatsrib. Maka, di tahun ketiga belas sejak Rasulullah SAW menerima wahyu, gerakan hijrah pun dilakukan. Para pengikut Rasulullah SAW rela meninggalkan tanah kelahiran mereka, rumah, harta, dan ternak, serta milik mereka yang lain, demi mengikuti instruksi Rasulullah SAW. Dan, sejak saat itu, antara Yatsrib yang berganti nama menjadi Madinah dengan Mekkah terjadi perang dingin.
Orang-orang Quraisy tentu saja tidak rela Rasulullah SAW dan pengikutnya mendapat perlindungan. Sementara kaum Muslimin sendiri merasa sudah saatnya menancapkan supremasi di Jazirah Arab. Langkah pertama yang harus mereka lakukan adalah merongrong kafilah dagang Quraisy.