Kepeto berdiri di ruang taktis markas sederhana mereka, mengamati peta holografis Zankokuna yang berhasil mereka curi. Peta itu menampilkan jalur-jalur rahasia, titik-titik lemah pertahanan, dan pola rotasi penjaga musuh. Kemenangan ini terasa pahit, mengingat beberapa anggota tim kehilangan nyawa mereka demi membawa informasi ini.
“Arva,” Kepeto memanggil dengan suara berat namun tegas. Ahli strategi itu segera menoleh. “Kita perlu rencana matang. Informasi dari Kaiden ini sangat berharga, tapi kita harus memastikan keasliannya. Jika ada jebakan, semua usaha kita akan sia-sia.”
Arva mengangguk pelan, matanya tetap terpaku pada peta holografis. “Saya setuju. Saya akan memimpin tim untuk menganalisis ini lebih lanjut. Jika datanya benar, kita punya peluang besar untuk menyerang pusat kendali mereka tanpa pertempuran langsung.”
“Bagus. Kerjakan sesegera mungkin,” jawab Kepeto sambil menepuk bahu Arva dengan penuh kepercayaan.
Di sudut lain ruangan, Lien duduk di mejanya. Pecahan-pecahan drone yang rusak dalam pertempuran terakhir terserak di depannya. Biasanya, tangan Lien bergerak gesit, tetapi kali ini ia terlihat ragu.
“Kau baik-baik saja, Lien?” tanya Lora, ahli komunikasi, dengan nada lembut yang penuh perhatian.
Lien menarik napas panjang sebelum menjawab. “Aku merasa gagal. Drone-drone ini membantu kita bertahan, tapi mungkin kalau aku lebih cepat atau lebih teliti, kita tidak akan kehilangan siapa pun.”
Lora tersenyum kecil, mencoba menguatkan. “Kau sudah melakukan yang terbaik, Lien. Tanpa drone-drone tersebut, kita mungkin tidak akan selamat.”
Sebelum Lien sempat menjawab, Kepeto mendekat. “Lien, aku tahu ini berat. Tapi kami butuh kemampuanmu lagi. Kita harus mempersiapkan lebih banyak drone untuk misi berikutnya. Kau siap?”
Dengan sedikit ragu, Lien mengangkat wajahnya. “Aku siap, Kapten.”
Malam itu, saat markas mulai sepi, sebuah pesan masuk ke saluran komunikasi mereka. Lora yang berjaga segera memeriksanya. Wajahnya berubah tegang.
“Kapten, pesan dari Kaiden,” lapornya. “Dia mengatakan bahwa Zankokuna tahu tentang keterlibatannya. Dia butuh bantuan.”
Kepeto segera datang, membaca pesan itu dengan seksama. “Bisa jadi jebakan,” katanya dengan nada serius.
“Mungkin,” jawab Lora. “Tapi nadanya terdengar putus asa. Jika dia benar-benar sekutu, kita tidak bisa meninggalkannya.”
Arva, yang baru masuk, mendengar percakapan mereka. “Risikonya besar, Kapten. Tapi kehilangan Kaiden berarti kehilangan akses informasi yang sangat penting.”